Menalar autentisitas wahyu Tuhan, sejatinya bukan untuk mengundang polemik di tengah-tengah masyarakat muslim, namun lebih kepada menampakkan sebuah model kegelisah baru seperti yang dituangkan Aksin Wijaya dalam buku karyanya yang sangat fenomenal. Aksan Wijaya ingin melontarkan gagasan-gagasan yang mempermasalahkan Mushaf Utsmani yang oleh sebagian besar pengkaji Al-Qur'an justru tidak lagi menjadi sebuah masalah. Beberapa pemikir kontemporer, seperti Amin al-Khuli, Fazlur Rahman, Abdul Karim Soroush, Hassan Hanafi, dan beberapa tokoh pemikir lainnya telah menawarkan sekian banyak metodologi serta serangkaian pemikiran kritis lainnya tentang Al-Qur'an, justru tidak menemukan kritikannya terhadap Mushaf Usmani sebagai korpus yang pantas digugat dan dipersoalkan, walaupun sebenarnya mereka bisa saja mempertanyakan proses kodifikasi yang terjadi di masa Usman bin Affan.
Ada satu hal yang menarik untuk dikemukakan pada artikel kali ini adalah terkait perdebatan seputar ke-qadim-an wahyu Tuhan. Istilah tentang qadim mestinya tidak digeneralisasi pada semua sesuatu yang berhubungan dengan wahyu Tuhan, sebab wahyu Tuhan menurut Aksan Wijaya telah mengalami distorsi hebat.
Wahyu Tuhan yang telah dijanjikan terpelihara oleh Tuhan, kini tidak lagi bersama kita, ia berada di haribaan-Nya. Wahyu Tuhan yang kekal dan abadi maksudnya adalah bahwa yang berada di haribaan Tuhan, bukan yang berada di tangan manusia saat ini.
Wahyu Tuhan yang telah dibawa oleh Muhammad Saw. kepada masyarakat Islam pada fase awal di negeri gurun pasir itu yang masih dalam tahap wacana lisan yang disebut dengan Al-Qur'an, kini telah tereduksi dan mengalami penjara di language Arab dan teks mushaf ustmani. Ia telah menjadi teks tulisan, yang sempurna lahir di era khalifah Usman bin Affan. apatah lagi setelah munculnya teknologi percetakan yang dapat mengabadikan wacana lisan ke dalam sebuah teks tulisan. Sebagai teks tulisan, di mana cara memahaminya tidak lagi bergantung pada kehadiran subjek penutur sebagaimana wacana lisan, maka tidak lagi hadir bersama subjek yang membawanyya dan mengucapkannya, melainkan hadir bersama teks tulisan di atas kertas. lalu masihkan Mushaf Ustmani, yang selama ini dirancukan dengan al-Qur'an dan wahyu dikatakan qadim, hadir sejak dahulu kala sebelum kehadiran manusia di muka bumi ini.
Umat Islam meyakini bahwa wahyu Tuhan bersifat suci dan sakral, karena ia bagian dari diri Tuhan, sedangkan yang dimaksud dengan wahyu Tuhan di dunia ini ditujukan pada Mushaf Ustmani. dan tentu pada gilirannya Mushaf Ustmani dianggap dan dinilai suci. Ini jelas sebuah reduksi yang mengagumkan yang tidak terdeteksi secara epistemologis, sehingga tak satupun orang yang tidak percaya bahwa apa yang ada di tangan kita saat ini sebagai sesuatu yang suci, lebih-lebih di sampul luar kitab tersebut terdapat ayat yang mendukung kesuciannya sebagai wahyu Tuhan, sebuah potongan ayat bertuliskan "la yammassahu illal muththahharun" (QS. Al-Waqiah: 79). dan akibatnya semua orang menghormati Mushaf Ustmani sebagaimana layaknya menghormati wahyu Tuhan.
Penyamaan Mushaf Ustmani dengan wahyu Tuhan seperti yang telah disampaikan di atas menjadi sebuah labelisasi suci yang dogmatis. Jika wahyu Tuhan diyakini sebagai yang suci, maka yang suci bukan maknanya, tetapi juga lafazd yang menjadi wadahnya. Oleh karena Mushaf Ustmani diyakin sebagai sebagai perwujudan wahyu Tuhan yang suci, demikian pula unsur-unsur yang berhubungan dengan Mushaf. Bagi seorang yang ingin Mushaf, di persyaratkan harus memiliki wudhu sebagai anda kesucian, baik suci dari hadis kecil maupun hadis besar, maupun suci dari zat dirinya sebagai seorang muslim. Membaca Mushaf, sekalipun tidak mengetahui maknanya, diyakini akan mendapat pahala dari Tuhan, yaitu pahala dari penghargaannya terhadap lafadz mushaf yang suci, sebagaimana membaca al-Qur'an. Karena itu, tradisi bacaan dengan sura merdu semarak di mana-mana, khususnya bagi kalangan awam yang tidak dapat memahami bahasa tulisan.
Keyakinan terhadap lafadz Mushaf Ustmani sebagai sesuatu yang suci pada gilirannya mempengaruhi keyakinan bahwa bahasa Arab yang digunakan oleh Mushaf Ustmani sebagai yang suci. Kesucian bahasa Arab bukan saja terletak pada bahasa Arab Mushaf Ustmani, tetapi juga bahasa Arab masyarakat Arab pada umumnya, baik dalam bentuk bahasa tulisan, puisi, karya ilmiah dan lain sebagainya. Hingga kemudian bahasa Arab dijadikan sebagai pelajaran khusus dalam lembaga pendidikan keagamaan, yang pada akhirnya kian menambah kesakralan bahasa Arab.
Ada satu narasi yang tersirat dibalik karya Aksin Wijaya bahwa jika sekiranya pesan Tuhan dapat lepas dari jeratan itu, maka diperlukan sebuah analisis yang bercorak filosofis-dekonstrukif. kita mencoba mendialogkan pesan Tuhan dengan cara yang bebas, lepas dari bayang-bayang budaya Arab klasik dan selanjutnya kita menggali pesan Tuhan dari mushaf ustmani, dimana pesan Tuhan terpenjara di dalamnya. Dialog bebas penting karena Mushaf Ustmani ini bukan lagi murni wahyu Tuhan sebagaimana yang dijanjikan akan dijaga, melainkan perangkap budaya Arab yang jika kita tidak kritis, tentu kita juga akan terperangkap dalam penjara yang sama. Selamat Membaca dan Salam Literasi
Sumber Bacaan:
Aksin Wijaya, Menalar Autentisitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender, (Cet. I) Yogyakarta: IRCiSoD, 2020 (ISBN 978-623-6699-17-1)