Moderasi beragama sering dielu-elukan sebagai solusi atas problem intoleransi di Indonesia, tetapi pertanyaan kritis patut diajukan: apakah ia sungguh-sungguh jalan damai yang lahir dari kesadaran masyarakat, ataukah hanya alat kendali yang dipaksakan dari atas untuk menekan ketegangan sosial? Di satu sisi, moderasi beragama menjanjikan ruang dialog, penghormatan perbedaan, dan kehidupan bernegara yang harmonis. Namun di sisi lain, jika ia dijalankan secara seremonial tanpa menyentuh akar ketidakadilan, ia berpotensi menjadi kosmetik sosial—menenangkan permukaan konflik tetapi membiarkan bara diskriminasi tetap menyala.
Pancasila, sebagai dasar negara, seharusnya menjadi panduan moral yang hidup di hati warga, bukan hanya slogan yang dihafalkan di upacara sekolah. Ketika intoleransi masih marak, diskriminasi terhadap kelompok minoritas tetap terjadi, dan konflik horizontal masih berulang, kita patut bertanya: apakah nilai-nilai Pancasila benar-benar telah diinternalisasi? Atau jangan-jangan kita hanya menciptakan ilusi persatuan tanpa membangun keadilan sosial yang nyata? Moderasi beragama seharusnya tidak berhenti pada seruan toleransi, tetapi menuntut keberanian untuk memperjuangkan keadilan bagi semua umat beragama agar persatuan tidak sekadar retorika.
Kritik tajam juga perlu diarahkan pada kurikulum pendidikan agama yang terlalu normatif dan minim ruang dialog. Selama pendidikan masih menanamkan kecurigaan terhadap “yang berbeda” dan hanya menekankan kebenaran kelompok sendiri, moderasi beragama akan sulit tumbuh di tingkat akar rumput. Peran tokoh agama pun penting, bukan hanya sebagai penyampai doktrin, tetapi sebagai fasilitator dialog lintas iman yang membebaskan. Moderasi tidak boleh dipahami sebagai upaya menipiskan keyakinan, melainkan cara untuk merawat perbedaan tanpa menindas pihak lain.
Akhirnya, keberhasilan moderasi beragama dan penerapan nilai Pancasila tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah. Ini adalah tanggung jawab kolektif: negara, tokoh agama, akademisi, dan masyarakat sipil harus terlibat dalam transformasi sosial yang nyata. Jika tidak, moderasi beragama hanya akan menjadi proyek birokratis yang kehilangan makna. Pertanyaannya kini, apakah kita siap mengubah moderasi beragama dari sekadar jargon menjadi gerakan kultural yang memperjuangkan kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan?
Kasus diskriminasi pembangunan rumah ibadah menjadi contoh nyata bagaimana moderasi beragama seringkali berhenti di tataran wacana. Masih banyak laporan penolakan izin pendirian gereja, vihara, atau masjid di wilayah tertentu dengan alasan administratif yang kerap bias dan dipolitisasi. Padahal, konstitusi menjamin kebebasan beragama dan beribadah bagi setiap warga negara. Fenomena ini memperlihatkan paradoks: negara menyerukan moderasi beragama, namun pada saat yang sama gagal melindungi hak-hak kelompok minoritas untuk menjalankan ibadahnya secara layak. Jika moderasi beragama hanya digunakan untuk “menenangkan” mayoritas dan menghindari konflik, tanpa menegakkan keadilan bagi yang terdiskriminasi, maka ia kehilangan esensi moralnya. Moderasi yang sejati justru harus berani menantang status quo, memastikan rumah ibadah bukan menjadi simbol perpecahan, tetapi pusat perjumpaan spiritual yang inklusif bagi semua umat.
Apakah kita benar-benar siap menerima bahwa setiap warga negara berhak memiliki dan membangun rumah ibadahnya, bahkan jika berbeda keyakinan dengan mayoritas di sekitar kita? Apakah masih pantas menggunakan alasan “ketertiban masyarakat” untuk menolak pendirian rumah ibadah, padahal konstitusi menjamin kebebasan beragama? Apakah kita berani mengakui bahwa sebagian besar intoleransi justru lahir dari ketakutan dan stereotip yang kita warisi sejak lama, bukan dari ajaran agama itu sendiri? Mengapa kita lebih mudah marah ketika simbol agama kita dihina, tetapi diam saat kelompok lain didiskriminasi? Apakah moderasi beragama seharusnya mengajarkan kita untuk kompromi terhadap ketidakadilan, atau justru menggerakkan kita memperjuangkan hak-hak semua orang? Bagaimana jika toleransi yang kita banggakan selama ini sebenarnya hanya toleransi semu—selama minoritas tetap “diam” dan tidak menuntut haknya? Apakah Pancasila masih kita jalankan sebagai etika bersama, atau hanya kita jadikan tameng saat kita merasa diserang? Apakah kita berani membayangkan Indonesia di mana perbedaan agama, budaya, dan ideologi bukan sekadar ditoleransi, tetapi dirayakan sebagai sumber kekuatan nasional?