Sumber : Google |
Beragam metode fenomenologi yang telah dikembangkan oleh para ahli fenomenologi. Setiap metode memiliki gaya dan karakteristik tersendiri dan penggunaannya disesuaikan dengan fenomena dan permasalahan yang hendak di teliti. Salah satunya adalah fenomenologi hermeneutik yang telah dikembangkan oleh Paul Ricoeur. Metode ini di dalam literatur ilmu humaniora diakui sebagai metode penafsiran yang sangat ketat (rigorous), dapat membawa peneliti kepada pemahaman tentang fenomena secara apa adanya, menyeluruh dan sistematik terutama dalam menjelaskan tentang identitas diri tanpa mengabaikan aspek objektivitasnya.
Paul Ricoeur seorang filosof yang berkebangsaan Perancis telah banyak ide-ide hermeneutiknya memiliki karakter unik sehingga acapkali ia di dudukkan pada posisi yang berbeda dari para filosof atau hermeneutiker sebelumnya. Ia mempunyai kerangka berpikir unik dan bangunan perspektifnya lebih luas.
Paul Ricoeur lahir di Valence, Paris Selatan pada tanggal 27 Februari 1913. Dia memulai karier filsafatnya ketika pemikiran filsafat Eropa di dominasi oleh tokoh-tokoh seperti Husserl, Heidegger, Jassper dan Marcel. Mereka ini yang telah mewarnai pemikiran filsafatnya. pada tahun 1933, ia memperoleh Licencede Philosophic, lalu ia mendaftar di Universitas Sarbonne Paris guna mempersiapkan diri untuk Agregation de Philosophie yang di peroleh pada tahun 1935.
Setelah setahun mengajar di Cohnar, ia dipanggil untuk memenuhi wajib militer (1937-1939). Pada saat mobilisasi, ia masuk ketentaraan Perancis dan dijadikan tawanan perang sampai 1945. Selama dalam tahanan Jerman, ia bersama dengan sahabat dan sesama tahanan, Mikel Dufrenne, menulis buku Karl Jaspers el La Philosophie de I'Existence (1947). Bersamaan dengan ini diterbitkan pula buku Gabriel Marcel et Jaspers, sesudah perang ia menjadi dosen filsafat pada College Cavenol, Pusat Protestan International pada bidang pendidikan dan kebudayaan di Chambon-Sur Lignon. Pada tahun 1948 ia menggantikan Jean Hyppolite sebagai guru besar filsafat di Universitas Strasbourg. Di tahun 1950, ia meraih gelar Doctor es Letter, sebagai tesis utama yang diajukan jilid pertama Philosophie de La Volonte (Filsafat Kehendak), diberi anak judul Le Volontaire et L'involontaire (yang Dikehendaki dan yang Tidak Dikehendaki) tahun 1950 dan sebagai tesis tambahan diterjemahkan karya Husserl, Ideen L.
Kepiawaian dan kecerdasan Paul Ricoeur membawanya mampu menyelesaikan beberapa karya yang sangat luar biasa :
- Finitude et Culpabilite (Finitude and Guilt); Keberhinggaan dan Keberhasilan.
- L'Homme Faillible (Fallible Man); Manusia yang Bersalah.
- La Symbolique du Mai (The Symbolism of Evil); Simbol-Simbol Tentang Kejahatan.
- De Interpretation Esai Sur Freud; Perihal Interpretasi, Esai tentang Freud
- Le Conflict des Interpretation: Essais d' Hermeneutique (Konflik Interpretasi: Esai Tentang Hermeneutika.
- La Metaphore Vive (The Rule of Metaphor)
- Temps et Recit (3 Jilid)
- Poetics of the Will (di buku ini Ricoer banyak membuahkan pikiran-pikiran yang lebih kreatif mengenai hermeneutika.
Hermeneutika secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang interpretasi makna. Kata hermeneutika berasal dari kata kerja Yunani Hermeneuein berarti menafsirkan. Sedangkan kata bendanya adalah Hermenia, akar kata itu dekat dengan nama salah satu dewa Yunani, yakni Hermes, seorang dewa dalam mitologi Yunani, bertugas sebagai penghubung antara sang Maha Dewa di langit dan para manusia di bumi. Tugas semacam ini tidak ubahnya seperti peran seoarang nabi dan para ahli tafsir kitab suci. mereka menfasirkan makna dari teks-teks kitab suci agar dapat dipahami orang sezaman.
Dalam perjalanan sejarahnya permasalahan hermenutika memang muncul pertama dalam kerangka eksegese kitab suci atau dalam usaha untuk memahami makna-makna penting, tetapi perlu diingat di sini bahwa hermeneutika tidak sama dengen eksegese. Eksegese adalah komentar-komentar aktual atas teks, sedangkan hermeneutika adalah metodologi yang dipakai dalam ber-eksegese. Eksegese memunculkan permasalahan hermeneutika, karena setiap pembacaan kembali sebuah teks selalu merujuk pada suatu komunitas tertentu. Eksegese juga akan membentuk pra-pengandaian dan kepentingan tertentu. Pembacaan mitos-mitos Yunani di Sekolah Stoik, misalnya mengandaikan sebuah pra-pengandaian yang amat berbeda dengan interpretasi dari generasi para Rasul atas peristiwa-peristiwa, lembaga-lembaga dan pribadi-pribadi dalam Perjanjian Lama dan akan menghasilkan sesuatu yang berbeda dengan interpretasi para nabi Yahudi.
Ricoeur memandang bahwa tahap eksegese ini merupakan permasalah hermeneutika, tetapi belum bernilai sebagai permasalahan filosofis. Ini dapat dibuktikan dengan definisi hermeneutikanya, yakni teori mengenai operasi-operasi pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi atas teks-teks, namun demikian benih-benihnya sudah dapat dijumpai di sini. Eksegese kitab suci mengandaikan suatu teori menyeluruh tentang tanda-tanda dan penandaan atau lebih tepatnya sebuah teks dapat memiliki beberapa makna, misalnya makna historis dan makna rohani. Untuk kita perlu berpikir tentang suatu sistem penandaan yang jauh lebih kompleks daripada hanya sistem penandaan yang disebut univok (satu). Padahal usaha interpretasi adalah penyingkapan sebuah maksud yang lebih dalam, yakni penjembatan perbedaan budaya. Interpretasi menghadapkan pembaca kepada teks yang sudah menjadi sesuatu yang asing.
Konsekuensinya, hermeneutika tidak bisa menjadi suatu teknik yang bersifat khusus, tetapi harus memuat permasalahan umum tentang pengertian, yakni peralihan dari interpretasi dalam pengertian eksegese kitab suci menuju level pemahaman yang menunjukkan pengertian yang jelas tentang tanda-tanda atau kata-kata lain dan permasalahan lain. Sedang teknis eksegese teks adalah permasalahan yang lebih umum tentang makna dan bahasa sebagai suatu sistem tanda.
Ricoeur memandang bahwa tahap eksegese ini merupakan permasalah hermeneutika, tetapi belum bernilai sebagai permasalahan filosofis. Ini dapat dibuktikan dengan definisi hermeneutikanya, yakni teori mengenai operasi-operasi pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi atas teks-teks, namun demikian benih-benihnya sudah dapat dijumpai di sini. Eksegese kitab suci mengandaikan suatu teori menyeluruh tentang tanda-tanda dan penandaan atau lebih tepatnya sebuah teks dapat memiliki beberapa makna, misalnya makna historis dan makna rohani. Untuk kita perlu berpikir tentang suatu sistem penandaan yang jauh lebih kompleks daripada hanya sistem penandaan yang disebut univok (satu). Padahal usaha interpretasi adalah penyingkapan sebuah maksud yang lebih dalam, yakni penjembatan perbedaan budaya. Interpretasi menghadapkan pembaca kepada teks yang sudah menjadi sesuatu yang asing.
Konsekuensinya, hermeneutika tidak bisa menjadi suatu teknik yang bersifat khusus, tetapi harus memuat permasalahan umum tentang pengertian, yakni peralihan dari interpretasi dalam pengertian eksegese kitab suci menuju level pemahaman yang menunjukkan pengertian yang jelas tentang tanda-tanda atau kata-kata lain dan permasalahan lain. Sedang teknis eksegese teks adalah permasalahan yang lebih umum tentang makna dan bahasa sebagai suatu sistem tanda.
3. Hermeneutika-Fenomenologi; Proses Menuju Pemahaman
Ricoeur sesungguhnya ingin menyampaiakan kepada para pembaca bahwa mendefinisikan hermeneutika sebagai teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks. Menurutnya, apa yang diucapkan atau ditulis manusia mempunyai makna lebih dari satu bila dihubungkan dengan konteks yang berbeda. Karakteristik yang menyebabkan kata-kata memiliki makna lebih dari satu bila digunakan dalam konteks-konteks yang berbeda oleh Ricoeur dinamakan polisemi. Karakteristik inilah yang menjadikan hermeneutika diperlukan dalam memahami manusia.
Meski secara esensial Ricoeur beroperasi dengan masuk ke dalam orientasi pembaca dalam memahami teks, ia merasa tidak nyaman dengan subjektivitas intrinsik yang diasosiasikan dengan hermeneutik. Ia berusaha menemukan dasar objektivitas dalam memahami sebuah teks sambil tetap mempertahankan keterbukaan penafsiran terhadap apa yang diungkapkan teks tersebut.
Dalam fenomenologi hermeneutik, Ricoeur menekankan pantingnya pemahaman tentang Distanciation (pengambilan-jarak). Kembalinua hermeneutika kepada fenomenologi terjado melalui pengambilan jarak. Setiap pemaknaan yang dilakukan oleh kesadaran melibatkan saat pengambilan-jarak dari objek yang diberi makna, pengambilan-jarak dari pengalaman yang dihayati sambil tetap secara murni dan lugas tertuju kepadanya. Fenomenologi mulai ketika kita memutus pengalaman yang dihayati dengan maksud memberi arti kepadanya. pengambilan jarak ini berhubungan erat dengan epoche, mengheningkan dan menjauhkan prasangka dan referensi terdahulu yang berkaitan dengan fenomena, namun epoche dalam pengertian non idealis sebagai aspek dari pergerakan intensional kesadaran terhadap makna. Epoche yang bertujuan mendapatkan pemahaman langsung dari fenomena dan pengambilan-jarak dengan intensi (maksud pengarang) memberi makna merupakan dua hal yang saling terkait erat.
Lebih dalam Ricoeur mengkonfirmasi bahwa setiap teks mempunyai 3 macam otonomi, yaitu: Intensi (Maksud Pengarang), Situasi Cultural dan kondisi sosial pengadaan teks, serta untuk siapa teks itu dimaksudkan. Konsep yang utama dalam pandangan Ricoer adalah bahwa begitu makna objektif diekspresikan dari niat subjektif sang pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya menurut pandangan dunai pengarang, tapi juga menurut pengertian pandangan hidup pembacanya. sederhananya, hermeneutika adalah ilmu penfasiran teks atau teori tafsir. Hermeneutika juga haruslah membentuk semacam kesatuan arti yang koheren dari teks yang ditafsirkan dan sekaligus memiliki relevansi lebih dalam serta lebih jauh untuk masa kini maupun masa depan. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan sebuah sistem penafsiran, dimana relevansi dan makna dalam dapat ditampilkan melampaui sekaligus sesuai dengan teks yang kelihatan.
Sumber Bacaan
MUHAMMAD NUR MURDAN, S.Th.I., M.Th.I
Pembina Pondok Pesantren Syekh Hasan Al-Yamani Polewali Mandar
Fenomenologi hermeneutika merupakan sintesis dari beberapa metode hermeneutika dan metode fenomenologi. Sambil mengkritik idealisme Husserl, Ricoeur menunjukkan bahwa bermeneutika tidak dapat dilepaskan dari fenomenologi. Fenomenologi merupakan asumsi dasar yang tak tergantikan bagi hermeneutika. Di sisilain, fenomenologi tidak dapat menjalankan programnya untuk memahami berbagai fenomena secara utuh dan menyeleruh tanpa penafsiran terhadap pengalaman-pengalaman subjek. Untuk keperluan penafsiran itu dibutuhkan hermeneutika. Secara umum, fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subjek memaknai objke-objek di sekitarnya. Menurut Ricoeur, sejauh tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan manusia, hermeneutika terlibat di sana. Jadi pada dasarnya fenomenologi dan hermeneutika saling melengkapi. Dengan dasar itu, Ricoeur mengembangkan metose fenomenologi hermeneutik.
Ricoeur sesungguhnya ingin menyampaiakan kepada para pembaca bahwa mendefinisikan hermeneutika sebagai teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks. Menurutnya, apa yang diucapkan atau ditulis manusia mempunyai makna lebih dari satu bila dihubungkan dengan konteks yang berbeda. Karakteristik yang menyebabkan kata-kata memiliki makna lebih dari satu bila digunakan dalam konteks-konteks yang berbeda oleh Ricoeur dinamakan polisemi. Karakteristik inilah yang menjadikan hermeneutika diperlukan dalam memahami manusia.
Meski secara esensial Ricoeur beroperasi dengan masuk ke dalam orientasi pembaca dalam memahami teks, ia merasa tidak nyaman dengan subjektivitas intrinsik yang diasosiasikan dengan hermeneutik. Ia berusaha menemukan dasar objektivitas dalam memahami sebuah teks sambil tetap mempertahankan keterbukaan penafsiran terhadap apa yang diungkapkan teks tersebut.
Dalam fenomenologi hermeneutik, Ricoeur menekankan pantingnya pemahaman tentang Distanciation (pengambilan-jarak). Kembalinua hermeneutika kepada fenomenologi terjado melalui pengambilan jarak. Setiap pemaknaan yang dilakukan oleh kesadaran melibatkan saat pengambilan-jarak dari objek yang diberi makna, pengambilan-jarak dari pengalaman yang dihayati sambil tetap secara murni dan lugas tertuju kepadanya. Fenomenologi mulai ketika kita memutus pengalaman yang dihayati dengan maksud memberi arti kepadanya. pengambilan jarak ini berhubungan erat dengan epoche, mengheningkan dan menjauhkan prasangka dan referensi terdahulu yang berkaitan dengan fenomena, namun epoche dalam pengertian non idealis sebagai aspek dari pergerakan intensional kesadaran terhadap makna. Epoche yang bertujuan mendapatkan pemahaman langsung dari fenomena dan pengambilan-jarak dengan intensi (maksud pengarang) memberi makna merupakan dua hal yang saling terkait erat.
Lebih dalam Ricoeur mengkonfirmasi bahwa setiap teks mempunyai 3 macam otonomi, yaitu: Intensi (Maksud Pengarang), Situasi Cultural dan kondisi sosial pengadaan teks, serta untuk siapa teks itu dimaksudkan. Konsep yang utama dalam pandangan Ricoer adalah bahwa begitu makna objektif diekspresikan dari niat subjektif sang pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya menurut pandangan dunai pengarang, tapi juga menurut pengertian pandangan hidup pembacanya. sederhananya, hermeneutika adalah ilmu penfasiran teks atau teori tafsir. Hermeneutika juga haruslah membentuk semacam kesatuan arti yang koheren dari teks yang ditafsirkan dan sekaligus memiliki relevansi lebih dalam serta lebih jauh untuk masa kini maupun masa depan. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan sebuah sistem penafsiran, dimana relevansi dan makna dalam dapat ditampilkan melampaui sekaligus sesuai dengan teks yang kelihatan.
Sumber Bacaan
- Ahmad Norma Permata, Hermeneutika Fenomenologis Paul Ricoeur, dalam Paul Ricoeur, The Interpretation Theory Filsafat Wacana Memilah Makna dalam Anatomi Bahasa, (Yogyakarta: Ircisod, 2002)
- Bleicher, Josef, Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika Sebagai Metode Filsafat dan Kritik, Terj. Ahmad Norma Permata, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003)
- Bambang Triatmoko, Hermeneutika Fenomenologi Paul Ricoeur, dalam majalah Driyarkara, No. 2, XVI, 1990
- Beertens, Filsafat Barat Abad XX, Jilid II, Jakarta: Gramedia, 1987
- Bourgouis, Patrich L. Extension of Ricoeur's Hermeneutics, Netherland, The Hugue, 1974
- Charles R and O Steward (ed), The Philosophy of Paul Ricoeur, Boston: Boston Press, 1978
- Esack Farid, Qur'an Lebration and Pluralism, An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression, Oxford: One World, 1997
- Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991
- Hermeneia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner Vol. 6 Nomor 1, Januari-Juni 2007
- Ihde, Don, Hermeneutic: Phenomenology; The Phylosophy of Paul Ricouer, E Vanston: Northwestern University Press, 1971
- Kaelan, Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya, Jakarta, 1998
- Palmer. Richard E, Hermenetics: Interpretation Theory in Sclaiermacher, Delthey, Heidegger, And Gadamer, Evanston: Northwestern University Press, 1969
- Tim Redaksi Driyarkara, Diskursus Disekitar Hermeneutik Gadamer Konfrontasi Pemikiran Gadamerdengan Habermas dan Paul Ricoeur, Driyakara, No. 3, 1993/1994
- Ricoeur, Paul, Hermeneutics and the Human Science, Amerika; Cambridge University Press, 1982
- Ricoeur, Paul, Freud and Philosophy: An Essay on interpretation, New 41 Hahen and London: Tale University Press, 1970
- Ricoeur, Paul, The Interpretation Theory: Discourse and the Surplus Meaning, Texas: The Texas, up. 1976
- Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode FIlsafat, (Cet. 7; Yogyakarta: Kanisius, 2000)
- Thomson, John B. Editor Intoduction, dalam Paul Ricoceur, Hermeneutics and Human Science, Amerika: Cambridge University Press, 1982
- Wadud Muhsin, Amina, Wanita di dalam al-Qur'an, Terj. Yaziar Radianti, Bandung: Pustaka, 1994
- Zaenal Abidin, Fenomenologi Hermeneutik Paul Recoeur, Yogyakarta: UGM, 1990
MUHAMMAD NUR MURDAN, S.Th.I., M.Th.I
Pembina Pondok Pesantren Syekh Hasan Al-Yamani Polewali Mandar
No comments:
Post a Comment