Wednesday, May 27, 2020

RUMAH BESAR ITU BERNAMA ISLAM

Ada apa dengan Islam akhir-akhir ini? Islam menjadi perdebatan kuat diantara orang-orang muslim sendiri, saling klaim kebenaran terhadap sakralitas dan kemapanan normatifitas Islam! Sehingga antara satu kelompok dengan kelompok yang lain di dalam Islam saling menyeru agar waspada terhadap bahaya kelompok Islam Liberal, Islam Nusantara, Islam Fundamentalis, Islam Sekuler, Islam Rasional dan lain-lain sebagai. Hanya Islam yang mereka anut saja yang benar.

Pemahaman keagamaan disadari atau tidak selalu bergumul dengan dua aspek, teologis dalam pengertian normatif dan sejarah. Muncul pandangan keagamaan yang beraksentuasi tradisional, modern, ekstrim, liberal dan sebagainya, dapat diduga akibat pergumulan manusia dengan keyakinan, pengalaman, kemampuan, lingkungan, cita-cita yang itu semua oleh Iqbal disebut sebagai dimensi yang berubah. Kesadaran akan sesuatu yang berubah inilah yang pada gilirannya menghasilkan  corak pemahaman keagamaan yang beragam. Di negeri-negeri Muslim selain Indonesia, kita  menyaksikan betapa dinamika pemahaman itu menjadi kekayaan intelektual tersendiri. Kita sebut saja Imam Khomeini (Iran) yang terkenal dengan gagasan Islam Revolusi-nya. Hassan Hanafi (Mesir) yang terkenal dengan gagasan al-Yassar al-Islami (Kiri Islam) dan menulis karya monumental "Min al-Aqidah ila Thawrah" (dari teologi ke revolusi) sebanyak 5 jilid.  Mohammed Arkoun (Aljazair), Fazlur Rahman (Pakistan),  Asghar Ali Engineer (India), yang terkenal dalam bukunya, "Islam and Its Relevane to Our Age" (Islam dan Relevansinya dengan zaman kita).

Karya intelektual yang mereka tulis merupakan refleksi zaman, kalau tidak disebutkan sebagai dekonstruksi terhadap pemahaman klasik. Mereka berbicara Islam dengan melibatkan analisa filsafat, sosiologi, dan antropologi secara mendalam sehingga Islam tidak saja didekati secara normatif melainkan juga wajah Islam sebagai produk sejarah dan sebagai realitas sosial. 

Terlepas dari perdebatan pada ranah teologis, Islam sesungguhnya adalah Rumah besar bagi para penganut-penganutnya. pada tabel berikut ini, sebuah gambaran yang ingin disampaikan bahwa ISLAM itu adalah sebuah RUMAH BESAR. Yang namanya rumah tentu ada sekat-sekat (kamar-kamar). Masing-masing kamar punya potensi yang berbeda dengan kamar satu sama lainnya dan punya tanggung jawab untuk menjaga dan memelihara rumah mereka. Sesungguhnya Islam pun demikian adanya, mestinya masing-masing kelompok, golongan atau aliran harus saling menguatkan satu sama lainnya untuk menjaga dan membangun peradaban Islam yang ramah dan mencerahkan. Bukan justru saling menafikan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain yang pada akhirnya merusak citra besar Islam. 

Perhatikan tabel berikut:
Bukankah kehadiran kelompok-kelompok  dalam Islam hanyak bentuk respon dari tafsiran sejarah pemikiran?

Sehingga untuk meluaskan pandangan kita, agaknya perlu mengkuliti makna Islam  itu sendiri. Kita mengetahui bahwa Islam selain makna harafiahnya "berserah diri". juga menelaah dua pemahaman besar berikut ini.

Pertama, Islam yang dipahami sebagai dokumentasi ajaran yang diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. Konsep ini dipahami secara eksklusif dan harfiah sebagai sesuatu yang telah terkapling pada sebuah produk syariat. Pesannya sangat jelas bahwa tidak ada ruang toleransi dan keselamatan di luarnya. Komunitas selain lembaga Islam adalah kafir dan seluruh amaliahnya tidak berefek sedikitpun. Ayat "Innaddinaa 'inda Allah al-Islam". Dalam penjelasan agama yang sangat doktriner dan monolitik seperti itu, Islam dibawa pada dimensi uniformisme. Patokan kesalehan dipersempit pada ornamen-ornamen prilaku dan ritual. Monopoli tafsir berlaku di semua wilayah yang disebut agama. Atas konsep yang seperti itu, tidak heran kalau muncul sebuah pertanyaan; apakah Islam demikian objektif? Apakah mungkin Islam seperti ini akan membawa kedamaian bagi kalangan lain bila segenap aktivitasnya tidak bisa membedakan antara pendapatnya (tentang Islam) dan ajaran Islam itu sendiri?

Kedua, Islam yang inklusif. Terkapling, namun memberikan ruang dialog, toleransi dan plurasime. Walau mengakui kebenaran yang tunggal (Obsolute), wilayah ini menyediakan kemungkinan perbedaan penerimaan pesan-pesan suci pada struktur persepsi dan kultur umat.

Tipologi keberagamaan kita memiliki kecenderungan yang berbeda-beda dalam memahami dan menafsirkan sebuah pesan ilahi (wahyu). Tetapi perbedaan itu bukan justru harus memecahkan tali persaudaraan sesama Islam. Islam itu harus kuat, Islam harus menyatu dalam simpul Rahmatan lil 'alamin.

Wallahu A'lam Bisshawab

Sumber Bacaan :
  1. Abdul Mukti, Nalar Islam; dari Tanah Arab ke Tanah Air, Pontianak : IAIN Pontianak Press, 2017
  2. Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1984
Oleh :
NURDIN ZAINAL
nurdinzainal@gmail.com

No comments:

Post a Comment