Sunday, May 31, 2020

TRADISI PERKAWINAN BANGSA ARAB PRA ISLAM

Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan yang meresmikan hubungan antara pribadi yang biasanya intim dan seksual. Sedangkan pernikahan sebuah upacara pengikatan janji nikah yang dilakukan oleh dua orang suami dan istri dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara hukum agama, adat dan negara dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, mawaddah wa rahmah.

Dalam Islam, pernikahan merupakan sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah Swt. mengikuti sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan.

Kebutuhan untuk berpasangan ini dalam sejarah peradaban manusia diwujudkan dalam institusi perkawinan. Awal sejarah kehidupan manusia menjadi saksi sejarah terciptanya perkawinan antara Adam dan Hawa, yang menjadi perkawinan pertama dan asal muasal primordial manusia di bumi. Dalam perkembangan selanjutnya, perkawinan menjadi norma  di semua bagian di dunia sebagai sebuah institusi formal untuk merealisasikan kebutuhan manusia untuk berpasangan. Masing-masing daerah, suku, agama dan lain-lain memiiki tradisi dan aturan-aturannya sendiri dalam hal perkawinan. Namun semuanya memiliki kesamaan dengan legitimasinya masing-masing bahwa realisasi kebutuhan seksual manusia tidak dapat dibiarkan secara bebas, tapi harus diatus secara normatif guna menjamin stabilitas sosial seperti yang telah disampaikan di atas.

Seperti halnya dibelahan dunia yang lain, perkawinan merupakan hal yang esensial dalam realitas masyarakat Arab pra-Islam. Hal ini merupakan hal yang wajar mengingat masyarakat Arab pra-Islam juga memiliki consern yang sangat besar dalam hal seksualitas dan realisasinya. Bahkan Khalil Abdul Karim mengatakan bahwa persoalan seksualitas merupakan hal yang dominan dalam kehidupan mereka. Selain secara kesistensialis kebutuhan seks sudah inheren dalam eksistensi manusia, juga dipengaruhi oleh kondisi iklim yang panas dan kondisi kering yang dapat menambah nafsu kedua orang semakin bergejolak dan membara.

Pada artikel kali ini, penulis ingin mengajak para pembaca  kembali melirik sejarah kelam bangsa Arab pra-Islam tentang salah satu tradisi perkawinan yang  bersifat profan dan sakral. Bagaimana mereka memperlakukan pasangannya, Musthafa Sa'id Al-Khinn sebagaimana yang dikutip Jaih Mubarok menyebutkan bahwa bangsa Arab pra-Islam menjadikan adat sebagai hukum dengan berbagai bentuknya. dalam perkawinan mereka mengenal beberapa macam perkawinan, diantaranya:

Pertama, Poliandri, yaitu sebuah perkawinan yang dilakukan oleh beberapa orang laki-laki dengan cara berjimak dengan seorang perempuan. Setelah perempuan hamil dan melahirkan anak, perempuan tersebut memanggil semua laki-laki yang pernah menyetubuhinya untuk berkumpul di rumahnya. Setelah semuanya hadir, perempuan tersebut menyampaikan bahwa ia telah dikarunia seorang anak hasil hubungan mereka, kemudian perempuan tersebut menunjuk salah seorang dari mereka untuk menjadi suami atau bapak dari anak yang telah dilahirkannya dan laki-laki yang ditunjuk tidak boleh menolak.

Kedua, Maqthu, yaitu seorang laki-laki menikahi ibu tirinya setelah bapaknya meninggal dunia. Jika seorang anak ingin mengawini ibu tirinya, dia melemparkan kain kepada ibu tirinya sebagai tanda bahwa ia mengingikannya, sementara ibu tirinya tidak punya kewenangan untuk menolak. Jika anak laki-laki tersebut masih kecil , ibu tiri diharuskan menunggu sampai anak itu dewasa. Setelah dewasa, anak tersebut berhak memilih untuk menjadikannya sebagai istri atau melepaskannya.

Ketiga, Istibdha, Yaitu seorang suami meminta kepada istrinya untuk berjimak dengan laki-laki yang dipandang mulia atau memiliki kelebihan tertentu, seperti keberanian dan kecerdasan. Selama istri bergaul dengan laki-laki tersebut, suami menahan diri dengan tidak berjimak dengan istrinya sebelum terbukti istrinya hamil. Tujuan perkawinan semacam ini adalah agar istrinya melahirkan anak yang memiliki sifat yang dimiliki oleh laki-laki yang menyetubuhinya yang tidak dimiliki oleh suaminya. Sebagai contoh, seorang suami merelakan istrinya berhubungan dengan raja sampai terbukti hamil, agar ia memperoleh anak yang berasal dari darah bangsawan.

Keempat Shigar, yaitu seorang wali menikahkan anak atau saudara perempuannya kepada seorang laki-laki tanpa mahar.

Kelima Badal, yaitu tukar-menukar istri tanpa bercerai terlebih dahulu dengan tujuan untuk memuaskan hubungan seks dan terhindar dari kebosanan.

Anderson menambahkan bahwa di masyarakat Arab pra-Islam tampaknya telah ada berbagai macam corak perkawinan, boleh jadi mulai dari perkawinan patrilineal, dan patrilokal sampai pada perkawinan matrilineal dan matrilokal, termasuk juga yang dikenal dengan perkawinan sementara waktu untuk tujuan bersenang-senang (kawin kontrak).

Menurut Elya Munfarida dalam salah satu jurnalnya bahwa dalam masyarakat patriarki Arab, perkawinan model seperti tersebut di atas adalah sistem kepemilikan (tamalluk). Model kepemilikan ini dapat dilihat implementasinya dari berbagai bentuk perkawinan dalam Arab pra-Islam seperti yang telah disebutkan di atas. Meskipun dalam perkawinan model safah dianggap memberikan kebebasan bagi perempua untuk hubungan seksual dengan beberapa laki-laki dan menentukan siapa yang berhak menjadi suami dan bapak bagi anak-anaknya, namun perkawinan itu berada dalam basis kultur patriarki, sehingga ketika dia sudah masuk dalam pernikahan maka posisinya akan tetap menjadi mab'ul dan milik suami. Dengan model kepemilikin seperti ini, maka perempuan berada pada posisi subordinat dan harus memiliki ketundukan dan ketaatan total terhadap suami. Sebaliknya, laki-laki atau suami memiliki otoritas dominan untuk memperlakukan istrinya sesuai dengan keinginannya.

Sumber Bacaan:
  1. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Cet. 10; Bandung: Pustaka Setia, 2008)
  2. Wibisana, W. (2016). Pernikahan Dalam Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta'lim2016.
  3. Rizki Ati Hulwa, Pernikahan dengan Perkawinan
  4. Khalil Abdul Karim, Relasi Gender Pada Masa Muhammad & Khulafaurrasyidin,  Terj. Khairon Nahdiyyin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
  5. Munfarida, E. (2015). PERKAWINAN MENURUT MASYARAKAT ARAB PRA ISLAM. Yinyang: Jurnal Studi Islam Gender dan Anak10(2).
Oleh:
NURDIN ZAINAL


No comments:

Post a Comment