Saturday, May 30, 2020

STUDI PEMAHAMAN HADIS

Hadis merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an, sama halnya dengan al-Qur’an, hadis tidak muncul dalam suatu kevakuman melainkan lahir dalam suatu konteks tertentu, di latar belakangi oleh situasi dan kondisi tertentu. Hadis merupakan laporan-laporan seputar Nabi SAW dalam berbagai keadaannya. Hadis bisa saja sebagai laporan atas pernyataan-pernyataan, Keputusan-keputusan, tingkah laku Nabi SAW sendiri yang disampaikannya dalam situasi khusus atau bisa juga didepan umum seperti halnya khutbah dsb. Bahkan hadis juga dapat berupa praktik-praktik tertentu oleh sahabat Nabi atau masyarakat di zamannya yang disetujui atau diketahui Nabi SAW akan tetapi didiamkannya (takrir Nabi).

Penting bagi kita dalam memahami hadis untuk memperhatikan asbabul wurud hadis. Sebab wurud hadis merupakan peristiwa yang melatarbelakangi munculnya sebuah hadis dan kemunculan hadis itu merupakan respon terhadap peristiwa itu. atau situasi dan kondisi yang melatar belakangi munculnya hadis. Begitupun dengan al-Qur’an yang memiliki asbabun Nuzul.

A. TA’RIF HADIS

Hadis adalah suatu laporan masa silam yang terkait dengan Nabi SAW, dari ta’rif ini maka hadis disamakan dengan sejarah, karena sejarah juga diartikan sebagai laporan masa silam. Akan tetapi dari segi bentuk antara hadis dan sejarah keduanya berbeda. Sejarah adalah suatu pendapat yang merupakan rekonstruksi yang dibuat oleh orang tidak sezaman mengenai suatu bagian masa silam berdasarkan bukti-bukti yang ada. Artinya sejarah bisa di defenisikan sebagai suatu pernyataan umum (general statement) tentang masa silam.

Berbeda dengan hadis, ia adalah sebuah pernyataan historis yang bersifat singular dan bukan merupan deskripsi menyeluruh mengenai bagian tertentu dari masa silam, artinya hadis bukanlah rekonstruksi, melainkan laporan sezaman secara apa adanya oleh yang mengalami peristiwa tersebut (maksudnya : laporan yang dibuat oleh orang yang langsung mengalami peristiwanya) yang kemudian disampaikan dari generasi ke generasi yang pada umumnya peristiwa ini tunggal. Contoh hadis dari Aisyah ra. tentang memudahkan mahar dalam pernikahan.

Para ahli hadis telah sepakat bahwa hadis merupakan laporan historis yang menyangkut tentang Nabi SAW, akan tetapi bagi ahli ushul fikih dan fikih, hadis tidak hanya merupakan kenyataan historis seputar Nabi SAW akan tetapi disamping sebagai kenyataan historis dia juga bersifat normatif. Sehingga hadis yang tidak normatif, melainkan hanya sekedar laporan masa silam mengenai Nabi SAW bukanlah hadis menurut Fukaha, seperti contoh laporan mengenai gambaran fisik Rasulullah yang tidak ada sangkut pautnya dengan syara’, olehnya itu para fukaha dan ahli ushul mengidentikkan hadis dengan sunnah.

B. HADIS SEBAGAI SUBSTANSI MAKNA DAN DATA HISTORIS

Dalam memahami hakikat hadis ada dua aliran besar, yang pertama, aliran yang melihat hadis sebagai substansi makna, dan yang kedua, adalah aliran yang melihat hadis sebagai data historis. Bagi aliran pertama hadis sebagai substansi makan, maka kandungan hadis itu menjadi amat penting dan menjadi kriteria pokok untuk menilai keshahihan hadis itu (meskipun unsur sanadnya tetap penting). Maksudnya, kandungan suatu hadis haruslah tidak bertentangan dengan sejumlah makna lain yang telah tetap di dalam syariah karena syariah merupakan sistem logis dalam Islam, sehingga apabila ada pemahaman hadis yang tidak cocok dengan sistem logis tersebut maka hadis itu harus ditolak. Sebab, Nabi SAW tidak mungkin berkata atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan sistem ajaran yang dibawanya. Pendapat ini banyak dipegang oleh ulama Hanafiyah. Sehingga tidak mengherankan apabila mazhab hanafi menolak hadis yang bertentangan dengan qiyas dan kaidah umum syariah jika hadis tersebut diriwayatkan oleh rawi yang bukan ahli ijtihad (yang tidak begitu memahami tentang substansi makna).

Sedangkan aliran kedua lebih condong melihat hadis sebagai suatu data historis, artinya suatu hadis apabila secara historis sudah diakui keotentikannya berdasarkan penilaian sanadnya, maka hadis tersebut wajib diterima sekalipun kandungannya bertentangan dengan makna-makna lain yang telah ditetapkan, bahkan ia dapat membatasi keumuman al-Qur’an dan penambahan oleh hadis juga dapat diterima dan tidak dianggap sebagai nasakh terhadap prinsip yang ada. Sehingga studi ini membutuhkan kritik matan hadis, akan tetapi sejauh ini kritik matan hadis secara garis besar hanya tertuju pada format matan buka substansi isi, contohnya apakah matan hadis tersebut terdapat sisipan rawi ‘Idraj’ apakah matan terbalik atau tidak dll.

Kedua paradigma mengenai pandangan hadis ini membawa konsekuansi yang mendalam dalam pemahaman hadis. Aliran pertama banyak menolak hadis-hadis yang dianggap aliran lainnya sebagai hadis shahih sekalipun hadis itu diriwayatkan oleh shahihain, Bukhari dan Muslim.

C. PENDEKATAN DAN METODE PEMAHAMAN HADIS

Pendekatan integral sangat tepat untuk memahami sebuah hadis, yaitu melihat hadis secara keseluruhan dari mana suatu makna disimpulkan, jadi tidak melihatnya satu persatu kemudian disimpulkan secara terpisah dari masing-masing hadis. Hal ini sejalan dengan pendapat Asy-Syatibi dalam pendekatannya yang menyatakan bahwa “lil ijtima’I khashiyat laisa lil iftiraaq” di dalam keseluruhan terdapat makna baru yang kemungkinan tidak terdapat dalam bagian secara terpisah.

Berangkat dari pendekatan integral maka dapat dikembangkan tiga metode dalam pemahamn hadis :
  1. Metode induksi Tematis, Menurut as Syatibi dalam bukunya al Muwafaqat fii Ushulil Ahkam, induksi tematis merupakan kesimpulan ruh yang terkandung di dalam berbagai dalil (teks syariah, termasuk hadis), yang ditarik dari sejumlah dalil (nas) yang saling berkaitan. Misalnya hadis larangan membuat patung jika dikaitkan dengan dalil yang lain maka, hukum membuat mengoleksi, menjual patung/boneka boleh sepanjang tidak disertai dengan pandangan magis terhadap patung tersebut.
  2. Metode Rekonstruksi Hadis, Diawal tulisan telah dikemukakan perbedaan sejarah dan hadis, sejarah biasanya bersifat general, akan tetapi hadis merupakan pernyataan yang partikular mengenai sepenggal peristiwa. Hadis tidak memotret seluruh peristiwa secara lengkap, walaupun pada kenyataannya ada beberapa hadis yang panjang menceritakan rangkaian peristiwa, contoh hadis tentang perjalanan haji Wada’ Nabi SAW, akan tetapi dalam hadis ini masih banyak bagian-bagian yang hilang yang tidak ikut diceritakan dalam hadis, khususnya keberadaan Nabi di Zulhulaifah dimana beliau memulai ihramnya. ”Dari Muharrisy al Ka’bi diceritakan bahwa : Nabi SAW tiba di Ji’ranah, lalu beliau masuk ke masjid, lalu beliau mengerjakan sholat, kemudian berpakaian ihram lalu melakukan perjalanan tidak cepat atau lambat, lalu menuju ke Batna Sarif sehingga menemukan jalan ke Madinah, pada pagi harinya beliau telah berada di Mekah seperti layaknya orang yang bermukim di Mekah (HR. Abu Daud, dalam Sunan Abu Daud Kitab al Manasik, hadis no. 1996). Dalam hadis di atas Nabi seolah-olah digambarkan bahwa nabi tidak butuh waktu berhari-hari dalam pelaksanaan perjalanan hajinya. Nabi SAW cukup datang ke Ji’ranah kemudian ke masjid-sholat-ihram-berangkat umrah sepertinya peristiwa itu terjadi hanya beberapa jam saja. Padahal dari sejarah ditemukan bahwa Nabi SAW berada di ji’ranah dalam waktu yang cukup lama (di ji’ranah Nabi menyusun strategi perang Hunain dan membagikan harta rampasan perang) namun di dalam hadis rangkaian waktu yang panjang itu tidak ditemukan. Olehnya itu dalam pemahaman hadis, episode-episode yang hilang itu harus dikembalikan, sehingga peristiwa-peristiwa penting dapat diletakkan dan dilihat dalam momen waktu yang tepat dan sebenarnya, pengembalian unsur waktu dan penempatan kembali peristiwa-peristiwa dalam momen yang sebenarnya inilah yang disebut sebagai metode rekonstruksi dalam pemahaman hadis.
  3. Metode Hirarki Norma, Menurut metode ini, suatu hadis harus ditempatkan didalam hirarki Norma Syariah. Norma Syariah secara hirarkis dibedakan dalam 3 lapisan yaitu, Norma Dasar (al-Qiyamul as-Siyyah), asas-asas umum (al-usulul kulliyyah), dan norma kongkrit (al-ahkamul far’iyyah). Norma dasar bersifat abstrak dan universal serta menggambarkan pokok-pokok fundamental ajaran Islam seperti : Tauhid, persaudaraan, kemaslahatan, keadilan, persamaan, musyawarah dll. Asas umum merupakan penjabaran dari norma dasar yang bersifat abstrak biasanya dirumuskan dalam al-Qawaidul fiqhiyyah dan al-Nazariyyah al-Fiqhiyyah. Sedangkan Norma kongkrit merupakan penjabaran dari norma-norma abstrak di atasnya. Agar bisa dipahami kami contohkan tentang “larangan isteri puasa sunnat pada saat suami ada di tempat (tidak bepergian) tanpa izin suaminya” pemahaman hadis ini haruslah ditempatkan sesuai dengan norma syariah. “Janganlah seseorang (istri) berpuasa sunnah ketika suaminya ada (berada ditempat) tanpa seizing suaminya”. (HR. Bukhari). Hadis tersebut terkadang dipahami sebagai salah satu hadis yang mendiskreditkan perempuan, dimana seorang perempuan seharusnya meminta izin kepada suaminya sebelum berpuasa sunnah dan tidak sebaliknya. Sehingga hadis ini butuh pemahaman yang baik. Norma dasar yang harus dikaitkan dalam pemahaman hadis ini terdapat dalam 3 Ayat al-Qur’an (asy-Syura’ : 28, an-Nisa : 124, an Nahl : 128), ayat ini mengandung 2 norma dasar yaitu musyawarah dan persamaan. Hadis larangan istri berpuasa sunnah tanpa izin suami jika ditelusuri asbabul wurud-nya maka ditemukan bahwa kasus ini hanya kebetulan saja terjadi pada salah seorang sahabat (Safwan bin Mu’attal), kasus tentang larangan beribadah sunnah tanpa izin pasangan juga pernah terjadi dalam hadis Abdullah Ibn Amr yang dilarang berpuasa, sholat malam terus menerus tanpa henti. Rasulullah bersabda “ ….. sesungguhnya tubuhmu mempunya hak terhadapmu, matamu juga punya hak, dan istrimu mempunyai hak terhadapmu.”
Dari uraian tersebut dapatlah dipahami bahwa bukan hanya istri yang diperintahkan meminta izin kepada suami untuk beribadah sunnah, akan tetapi sesuai dengan hadis Nabi SAW dan QS. Asy-Syura : 38 maka suami atau istri harus bermusyawarah guna memperoleh persetujuan pasangannya untuk melakukan puasa sunnah. Pemahaman ini didasarkan kepada pertimbangan berbagai tingkat norma dalam syariah.

Akhirnya, untuk memahami sebuah hadis maka hal terpenting yang dilakukan adalah mengembalikan dimensi waktu_tempat (episode-episode) yang hilang dalam hadis itu, agar kita dapat memahami hadis secara komprehensif dan tentunya sesuai dengan norma syariah yang berlaku.

Sumber Bacaan :
  1. An Nawawi, Syarah an Nawawi ala Shahih Muslim  (Beirut : Dar Ihya at Turas al A’rabi, tt)
  2. Asy-Syatibi, al Muafaqah fii Usulil Ahkam (Dar al fikr li at Tiba’ah wa an Nasyr wa at Tauzi : 1934 H)
  3. M. Amin Abdullah (1996) “Hadis dalam Khazanah Intelektual Muslim”
  4. M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994)
  5. Nuruddin, Ulum al Hadis, terj. Mujiyo ( Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1994)
Oleh:
EKAWATI HAMZAH
(Dosen IAI As'adiyah Sengkang)

1 comment:

  1. Semoga semakin banyak orang-orang yang mau peduli terhadap khasanah intelektual Islam. Sukses terus Pena Cendekia7.

    ReplyDelete