Tuesday, May 5, 2020

UPACARA KEMATIAN, ADAT MASYARAKAT BUGIS

Sebelum agama Islam masuk, orang Bugis menganut kepercayaan Dewata Seuwa yakni Dewa Tunggal. Menurut mereka bahwa Dewa tertinggi itu mempunyai wakil-wakil yang berfungsi memelihara ciptaannya. Dewa bawahan (dewa kelas bawah) berada disegala penjuru. Merekalah yang memelihara dan menggerakkan peristiwa-oeristiwa alam. Mereka pula mengawasi jalannya tata tertib alam raya ini dalam hubungannya dengan manusia, di samping mempercayai dewa-dewa mereka juga mempercayai arwah nenek moyangnya, mereka percaya arwah nenek moyang bisa membawakan malapetaka bila tidak ada hubungan harmonis dengan, baik melalui agama atau upacara. Oleh karena itu orang Bugis memberikan persembahaan kepada arwah-arwah, terutama pada waktu memperoleh keberuntungan misalnya mereka terlepas dari marabahaya setelah selesai panen raya. Upacara semacam itu di adakan sebagai upacara tanda syukur kepada arwah dan selanjutnya kepada Dewata Seuwa.

Selain memuja arwah-arwah, mereka juga mempercayai adanya kekuatan gaib yang melekat pada benda-benda alam, seperti, sungai, gunung, batu dan pohon besar. Oleh karena itu, diadakanlah upacara persembahan kepada  benda-benda alam tersebut, dianggap bahwa kekuatan-kekuatan gaib yang melekat pada benda-benda itu dapat mendatangkan malapetaka.

Cara-cara penyembahan kepada arwah dan benda-benda alam serta tempat-tempat tertentu juga diganti dengan cara-cara penyembahan kepada Allah Swt. Cara penyembahannya tidak dengan membawa sajian untuk yang disembah itu, tetapi cukup dengan melakukan ibadah di rumah sendiri. Penyesuian yang demikian berlanjut sampai hal-hal yang lain, termasuk pelaksanaan kematian.

Penguburan orang yang meninggal dunia dilaksanakan dengan berdasar adat dan agama paham yang memadukan adat dan agama dalam upaya mencari keserasian dan keseimbangan hidup disebut "Sinkretis".

Adat dilakukan sepanjang tidak mengantarkan anggota masyarakat ke arah perbuatan syirik. Perbedaan antara aturan  yang berdasar agama antara lain dapat diperhatikan pada uraian berikut, jika orang mati yang mati dimandikan, dibungkus kain kafan, dan disholatkan, maka dapat dipastikan bahwa cara-cara tersebut dilakukan dengan berdasarkan Agama Islam, kemudian jika setelah itu ada acara lagi seperti upacara pada hari ketiga, kelima, ketujuh, dan seterusnya, mattampung dan menanam batu nisan di atas kuburan, dapat dipastikan bahwa hal tersebut dilakukan dengan berdasarkan adat, sebabnya dalam agama Islam tidak ada aturan yang demikian.
  1. Hari Kematian, pada saat menjelang kematian seseorang (ri pamadang), seluruh anggota keluarga di beri tahu. Mereka dianjurkan tidak bepergian kemanapun. Setelah seseorang itu meninggal dunia, diutuslah dua atau tiga orang untuk menghubungi seluruh anggota keluarga, mereka selanjutnya akan menghubungi seluruh keluarga secara berantai. Anggota keluarga kemudian berdatangan dengan membawa bingkisan. Ada yang membawa sarung, uang, kain kafan, dan keperluan lain yang dibutuhkan dalam pemakaman jenazah, ada pula yang membawa bahan makanan seperti beras, ikan, dan gula, jika seorang bangsawan, dibunyikan gong, gendang dan lain-lain.
  2. Upacara Penguburan, menurut syariat Islam, penguburan  seseorang yang meninggal dunia harus dipercepat. Makin cepat penguburan semakin baik menurut syariat. Harus diusahakan penguburan jenazah tidak melampaui dua waktu sholat fardhu. Ada orang yang memberi wasiat lebih dahulu, ada juga orang yang tidak demikian. Setelah dipastikan bahwa seorang itu telah meninggal dunia, rombongan penggali kubur menuju ke lokasi pemakaman, mereka membawa sebilah bambu yang panjangnya sesuai dengan ukuran panjang orang meninggal dunia. Tidak semua orang yang bisa menggali kubur. Oleh karena itu, kehadiran orang tua yang sudah berpengalaman sangat di perlukan. Arah kubur lazimnya memanjang dari utara ke selatan, kepala berada dibagian utara. Keluarga yang tidak pergi ke kuburan sibuk-sibuk dengan pembuatan usungan yang terbuat dari dari bambu/ batang pinang, usungan bagi bangsawan berbeda dengan orang biasa, usungan tersebut dilengkapi dengan cekko-cekko. Perempuan-perempuan yang dirumah sibuk menyiapkan kain kafan pembungkus mayat, jika yang meninggal bangsawan, usungan itu dilengkapi dengan walasoji, di atas walasoji dipancangkan bendera putih dan payung, pada setiap sisi sebagai tanda bahwa penggalian lubang kubur telah selesai, salah seorang penggali kubur membungkus dengan daun-daun segenggam tanah, kemudian dibawanya pulang ke rumah orang yang meninggal. Sesampai orang itu di rumah, mayat mulai dimandikan. Penyiraman air yang pertama harus dilakukan oleh orang tertentu, kemudian disusul oleh orang lain, jika perempuan yang meninggal, yang mandikan harus perempuan dari keluarga dekat, seperti anak dan menantu, setelah dimandikan, mayat tersebut  diangkat ke tempat yang telah disiapkan, kemudian dibungkus dengan kain kafan. Selanjutnya, mayat tersebut disholatkan oleh pemuka agama dan keluarga yang lain. Makin banyak orang yang mengsholatkan makin baik menurut agama Islam. Apabila semua tata cara keagamaan seperti memandikan, membungkus dan mengsholatkan jenazah telah selesai, jenazah diturunkan ke tanah, pada waktu itu, di depan tangga telah ada beberapa orang yang telah mempersiapkan usungan. Usungan di angkat ke atas kemudian diturunkan lagi sambil melangkah ke depan, kegiatan tersebut dilakukan tiga kali berturut-turut, selanjutnya diteruskan dengan berjalan perlahan-lahan, jika yang meninggal bangsawan, muatan walasoji-nya cukup berat, sebabnya beberapa orang beserta mayat berada di atas usungan, pengantaran jenazah menuju kuburan dengan cara di usung dan saling pengusung secara berganitian di namakan "mabbule". Penurunan jenazah ke liang lahat diatur menurut tata cara agama, pejabat agama membacakan talkin, kemudian para keluarga menyirami air secara bergantian, akhirnya semua keluarga dan penggali kubur kembali ke rumah.
  3. Bilangpenni, upacara bilampenni  sesungguhnya  adalah upacara selamatan yang dimulai sejak hari penguburan jenazah. Bilampenni didasarkan pada perhitungan hari, karena itu ada acara selamatan hari pertama, ketiga, kelima, ketujuh, dan seterusnya sampai  pada hari mattampung. Pelaksanaan bilampenni bagi golongan orang kebanyakan biasanya hanya sampia pada hari ke tujuh atau kesembilan. Bagi orang yang mampu, sebaiknya acara itu diadakan tiap malam dengan diisi pengajian oleh beberapa orang, dalam selamatan tiap hari dan malam itu semata-mata diucapkan doa keselamatan bagi arwah orang mati dan keselamatan bagi keturunan yang masih hidup.
  4. Mattampung, biasanya pada hari ketujuh  atau kesembilan di adakan acara mattammpung, pelaksanaannya didasarkan pada agama dan adat, dalam acara itu dilaksanakan pemotongan hewan berupa, sapi, kambing. Pejabat agama diundang, terutama yang senantiasa mengaji pada hari-hari sebelumnya. Dalam upacara mattampung, di baca barzanji dan dzikir, keluarga almarhum memberi sedekah kepada pejabat agama dan orang lain yang sempat hadir, setelah melaksanakan upacara, batu nisan dibawa ke kubur untuk di tanam dan cekko-cekko yang selama ini terletak di atas kubur dibuka dan diganti dengan batu nisan, bagi yang mampu, upacara pada malam ke sembilan, kesebelas, dan seterusnya masih tetap diadakan. Selamatan pada hari-hari itu tidak lain hanya sekedar peringatan bagi keluarga yang masih hidup dan selamatan bagi arwah agar diberi oleh Tuhan keselamatan di akhirat.
Fungsi upacara ialah mengukuh norma-norma dan nilai-nilai yang hidup di suatu masyarakat. Anggota masyarakat yang menyelenggarakan upacara berarti turut mengokohkan tata tertib sekaligus memperingati berbagai aturan yang berlaku dalam masyarakat, dalam mengikuti jalannya upacara, akan diperoleh kehidmatan dan makna yang di kandung oleh simbol-simbol upacara. Upacara kematian ini, terkandung berbagai macam norma dan nilai budaya yang bersifat positif yang berguna  bagi kelanjutan sistem dan bermanfaat bagi usaha pengukuhan sendi-sendi sosial dalam era milenial ini dengan berdasar makna upacara itu yang wajar untuk dilanjutkan yaitu dengan datangnya sanak keluarga pada saat pelaksanaan upacara kematian, makin eratlah rasa kekeluargaan dan persaudaraan antar anggota keluarga. Dalam pelaksanaan upacara kematian, akan terjalin rasa persamaan dan kegotongroyongan dalam menghadapi suatu masalah termasuk kedukaan. Acara-acara selamatan yang diadakan dalam upacara kematian akan memberikan makna tersendiri untuk senantiasa mengenang jasa-jasa pendahulu yang telah meninggal dunia dan mendoakan agar arwahnya mendapat tempat yang layak di sisi-Nya.

Secara umum, makna dari tulisan ini yakni apapun yang kita kerjakan harus selalu sesuai dengan aturan-aturan, norma-norma dan petunjuk-petunjuk yang telah kita sepakati bersama, hal itu akan mendidikan generasi selanjutnya dengan penuh rasa tanggung jawab yang tinggi untuk melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat Bugis yang disesuaikan dengan Pancasilan dan UUD 1945 dan lebih utama daripada itu adalah semua upacara itu tidak boleh bertentangan dengan agama Islam, Islam telah mengatur tata tertib atau kaidah-kaidah pelaksanaan acara pasca kematian seorang hamba Allah Swt. jadi adat istiadat apapun yang bertentangan dengan agama Islam wajib diitinggalkan demi kemurnian ibadah seorang hamba Allah Swt.

Oleh:
JAHARUDDIN
*Mahasiswa Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam
Fakultas Ushuluddin, Dakwah dan Komunikasi
IAI As'adiyah Sengkang 

No comments:

Post a Comment