Thursday, June 4, 2020

KRITIK AL-GHAZALI TERHADAP FILOSOF SEBELUMNYA


Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali yang lebih dikenal Imam al-Ghazali, ketika ia masih kecil, beliau dan saudaranya diserahkan kepada ahli tasawuf yang kelak mendidiknya. Di Durjan, al-Ghazali mempelajari ilmu fiqhi dan bahasa Arab. Dari sana, al-Ghazali meneruskan perjalanannya ke kota Naisabur, dekat Thus. Di kota ini dia belajar kepada imam Al-Haramain yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan. Disini pulalah dia mulai memperdalam berbagai disiplin ilmu, seperti  logika, ilmu kalam dan ilmu-ilmu lainnya yang dianggap penting. Karena kecerdasannya itulah imam Al-Haramain mengatakan al-Ghazali itu adalah lautan tak bertepi.

Selain dikenal sebagai sosok yang lebih bersimpati terhadap bentuk mistis Islam yang ditemukan  di dalam Tasawuf, al-Ghazali juga menghabiskan lebih banyak waktunya untuk menulis. Karya-karya al-Ghazali-lah yang membuatnya sampai hari ini menjadi sosok yang penting. Di antara seluruh karyanya, yang mempunyai pengaruh paling besar adalah Tahāfut al-Falāsifah (Kerancuan Para Filsuf)

Titik tekan dari buku Tahāfut al-Falāsifah adalah kritik terhadap perkembangan filsafat di masa sebelumnya yang dia anggap tidak memiliki komponen keimanan, yang mana padahal menurut al-Ghazali keimanan adalah elemen terpenting dari agama. Pada akhir buku tersebut, Tahāfut al-Falāsifah, al-Ghazali melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran para filosof.  Secara spesifik, yang dikritik adalah ide-ide Neoplatonis yang terinspirasi dari Plato (filsuf Yunani). Adapun yang dimaksud dengan filosof menurut al-Ghazali adalah Aristoteles dan Plato, juga Al-Farabi dan Ibnu Sina, karena kedua filosof Muslim ini dipandang oleh al-Ghazali paling bertanggung dalam menerima dan menyebarluaskan pemikiran filosofis dari Yunani di dunia Islam.

Tahāfut al-Falāsifah merupakan titik balik dalam sejarah intelektual dunia secara umum dan juga sejarah Islam pada khususnya pada abad pertengahan. Karya tersebut membahas konflik di antara ilmu kalam dan filsafat. Namun, bukan berarti al-Ghazali mengatakan para filosof itu atheis_jauh dari itu, kritik al-Ghazali adalah bahwa seluruh sistem pemikiran filosofis para filosof bergantung pada penegasan keberadaan Tuhan, yang darinya semua eksistensi lainnya terpancar. Tapi, menurut para filosof, para makhluk ciptaan Tuhan ini merupakan konsekuensi dari esensi Ilahi, seolah-olah para makhluk merupakan “kebutuhan” dari kekuasaan Tuhan. Hal itulah yang dikritik oleh al-Ghazali, bahwa sudut pandang filsuf tersebut melihat Tuhan layaknya benda mati.  Berikut ini adalah penjelasan:

Alam Semesta dan Semua Substansinya Qadim
Para filosof Muslim di kala itu mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lul-nya (sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Alasan dari para filosof itu adalah tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan demikian bararti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum ada. Menurut Imam Al-Ghazali bahwa bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai permulaan atau tidak pernah ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadimnya alam membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Tidak diciptakan Tuhan dan ini berarti bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi dan segala isinya. Bagi Imam Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam di samping adanya Tuhan.

Allah Tidak Mengetahui Yang Juz’iyyah (perincian) yang terjadi di Alam
Golongan filosof berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil, kecuali dengan cara yang umum saja. Alasan yang mereka kemukakan sesuatu yang baharu itu dengan segala peristiwanya selalu berubah-ubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti kepada diketahui (objeknya), yakni perubahan perkara yang diketahui, menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu-ilmu ini berubah dari tahu menjadi tidak tahu atau sebaliknya berarti Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan mustahil terjadinya. Menurut Imam Al-Ghazali, argument seperti itu merupaakn kesalah fatal. Perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu, karena ilmu merupakan idhafah (sesuatu rangkaian yang berhubungan dengan zat). Jika ilmu berubah tidak membawa perubahan zat, dengan arti keadaan orang yang memmpunyai ilmu tidak berubah. Untuk memperkuat argumentnya, Imam Al-Ghazali mengemukakan ayat-ayat Al-Qur’an pada surah Al-Hujurat/49: 16
وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ 
Terjemahnya: padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu?" 
Pembangkitan Jasmani Tidak Ada
Menurut para filosof Muslim yang akan dibangkitkan diakhirat nanti adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur. Jadi yang akan merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Imam Al-Ghazali pada dasarnya tidak menolak adanya bermacam-macam kelezatan di akhirat yang lebih tinggi daripada kelezatan di nuia empiris/indrawi. Juga tidak menolak kekekalan roh setelah berpisah dari jasad, semua itu dapat diketahui dari otoritas dari jasad. Akan tetapi dia membantah bahwa akal saja sapat memberikan pengetahuan final dalam masalah metafisika. Dalam menyanggah pendapat para filosof ini, Imam Al-Ghazali lebih banyak bersandar pada arti tekstualitas Al-Qur’an. Tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan. Para filosof Muslim berpendapatbahwa mustahil mengembalikan rohani kepada jasad semual, dengan berpisahnya jasad dengan roh berarti kehidupan telah berakhir dan tubuh tidak bertentangan dengan. Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali kekalnya jiwa setelah mati tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hadis-hadis menyebutkan pula bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan jiwa. Sementara itu, kebangkitan jasmani secara eksplisit telah ditegaskan oleh syara’.

Sumber Bacaan:
  1. Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Cet. IV;Jakarta: Bulan Bintang, 1990) 
  2. Risman Munanto (2014), Karakteristik Pemikiran Kalam Pasca Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Makalah 
  3. Al-Ghazali, Samudera Pemikiran Al-Ghazali, Alih Bahasa Kamran As'ad Irsyady, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002)
Oleh:
NURDIN ZAINAL

No comments:

Post a Comment