Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali yang lebih dikenal Imam
al-Ghazali, ketika ia masih kecil, beliau dan saudaranya diserahkan kepada ahli
tasawuf yang kelak mendidiknya. Di Durjan, al-Ghazali mempelajari ilmu fiqhi
dan bahasa Arab. Dari sana, al-Ghazali meneruskan perjalanannya ke kota
Naisabur, dekat Thus. Di kota ini dia belajar kepada imam Al-Haramain
yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan. Disini pulalah dia mulai
memperdalam berbagai disiplin ilmu, seperti
logika, ilmu kalam dan ilmu-ilmu lainnya yang dianggap penting. Karena
kecerdasannya itulah imam Al-Haramain
mengatakan al-Ghazali itu adalah lautan tak bertepi.
Selain dikenal sebagai sosok yang lebih
bersimpati terhadap bentuk mistis Islam yang ditemukan di dalam Tasawuf,
al-Ghazali juga menghabiskan lebih banyak waktunya untuk menulis. Karya-karya al-Ghazali-lah yang membuatnya sampai
hari ini menjadi sosok yang penting. Di antara seluruh karyanya, yang mempunyai
pengaruh paling besar adalah Tahāfut al-Falāsifah (Kerancuan
Para Filsuf)
Titik tekan dari buku Tahāfut al-Falāsifah adalah kritik
terhadap perkembangan filsafat di masa sebelumnya yang dia anggap tidak
memiliki komponen keimanan, yang mana padahal menurut al-Ghazali keimanan
adalah elemen terpenting dari agama. Pada akhir buku tersebut, Tahāfut al-Falāsifah,
al-Ghazali melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran para
filosof. Secara spesifik,
yang dikritik adalah ide-ide Neoplatonis yang terinspirasi dari Plato (filsuf
Yunani). Adapun yang dimaksud dengan filosof menurut al-Ghazali adalah
Aristoteles dan Plato, juga Al-Farabi dan Ibnu Sina, karena kedua filosof
Muslim ini dipandang oleh al-Ghazali paling bertanggung dalam menerima dan
menyebarluaskan pemikiran filosofis dari Yunani di dunia Islam.
Tahāfut al-Falāsifah merupakan titik balik dalam sejarah intelektual dunia secara umum
dan juga sejarah Islam pada khususnya pada abad pertengahan. Karya tersebut
membahas konflik di antara ilmu kalam dan filsafat. Namun, bukan berarti
al-Ghazali mengatakan para filosof itu atheis_jauh dari itu, kritik al-Ghazali
adalah bahwa seluruh sistem pemikiran filosofis para filosof bergantung pada
penegasan keberadaan Tuhan, yang darinya semua eksistensi lainnya terpancar.
Tapi, menurut para filosof, para makhluk ciptaan Tuhan ini merupakan
konsekuensi dari esensi Ilahi, seolah-olah para makhluk merupakan “kebutuhan”
dari kekuasaan Tuhan. Hal itulah yang dikritik oleh al-Ghazali, bahwa sudut
pandang filsuf tersebut melihat Tuhan layaknya benda mati. Berikut ini adalah
penjelasan:
Alam Semesta dan Semua Substansinya Qadim
Para filosof Muslim di kala itu mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab
qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lul-nya
(sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Alasan dari
para filosof itu adalah tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam,
keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan demikian bararti kita bisa
membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum ada. Menurut
Imam Al-Ghazali bahwa bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai permulaan
atau tidak pernah ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu
diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadimnya alam membawa pada kesimpulan bahwa
alam itu ada dengan sendirinya. Tidak diciptakan Tuhan dan ini berarti bertentangan
dengan ajaran Al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan
segenap alam (langit, bumi dan segala isinya. Bagi Imam Al-Ghazali, alam
haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam
tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam di samping adanya Tuhan.
Allah Tidak Mengetahui Yang Juz’iyyah (perincian) yang terjadi di
Alam
Golongan filosof berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang
kecil, kecuali dengan cara yang umum saja. Alasan yang mereka kemukakan sesuatu
yang baharu itu dengan segala peristiwanya selalu berubah-ubah, sedangkan ilmu
selalu mengikuti kepada diketahui (objeknya), yakni perubahan perkara yang
diketahui, menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu-ilmu ini berubah dari tahu
menjadi tidak tahu atau sebaliknya berarti Tuhan mengalami perubahan, sedangkan
perubahan pada zat Tuhan mustahil terjadinya. Menurut Imam Al-Ghazali, argument
seperti itu merupaakn kesalah fatal. Perubahan pada objek ilmu tidak membawa
perubahan pada ilmu, karena ilmu merupakan idhafah (sesuatu rangkaian yang
berhubungan dengan zat). Jika ilmu berubah tidak membawa perubahan zat, dengan
arti keadaan orang yang memmpunyai ilmu tidak berubah. Untuk memperkuat
argumentnya, Imam Al-Ghazali mengemukakan ayat-ayat Al-Qur’an pada surah
Al-Hujurat/49: 16
…وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ
Terjemahnya: padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu?"
Pembangkitan Jasmani Tidak Ada
Menurut para filosof Muslim yang akan dibangkitkan diakhirat nanti
adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur. Jadi yang akan merasakan
kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Imam Al-Ghazali pada dasarnya
tidak menolak adanya bermacam-macam kelezatan di akhirat yang lebih tinggi
daripada kelezatan di nuia empiris/indrawi. Juga tidak menolak kekekalan roh setelah
berpisah dari jasad, semua itu dapat diketahui dari otoritas dari jasad. Akan
tetapi dia membantah bahwa akal saja sapat memberikan pengetahuan final dalam
masalah metafisika. Dalam menyanggah pendapat para filosof ini, Imam Al-Ghazali
lebih banyak bersandar pada arti tekstualitas Al-Qur’an. Tidak ada alasan untuk
menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara
bersamaan. Para filosof Muslim berpendapatbahwa mustahil mengembalikan rohani
kepada jasad semual, dengan berpisahnya jasad dengan roh berarti kehidupan
telah berakhir dan tubuh tidak bertentangan dengan. Sedangkan menurut Imam
Al-Ghazali kekalnya jiwa setelah mati tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Hadis-hadis menyebutkan pula bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan
jiwa. Sementara itu, kebangkitan jasmani secara eksplisit telah ditegaskan oleh
syara’.
Sumber Bacaan:
- Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Cet. IV;Jakarta: Bulan Bintang, 1990)
- Risman Munanto (2014), Karakteristik Pemikiran Kalam Pasca Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Makalah
- Al-Ghazali, Samudera Pemikiran Al-Ghazali, Alih Bahasa Kamran As'ad Irsyady, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002)
NURDIN ZAINAL
No comments:
Post a Comment