Sunday, September 6, 2020

AKAL, SARANA ATAU SUMBER? MENELAAH PERAN AKAL DALAM PRINSIP BERAGAMA

Kita sebagai manusia telah bermukim di bumi ini. Kita telah menikmati hidup di dalam kehidupan ini. Kita telah hidup di dalam masyarakat. Tetapi pernahkah kita mencari tahu siapa sesungguhnya "aku" kita? apakah kita pernah mencari tahu siapa yang mengadakan kita? yang telah memberikan kehidupan kepada kita dengan berbagai fasilitas yang ada dan begitu lengkap. 

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini sebenarnya sudah ada dalam diri setiap manusia, siapapun orangnya, sebagai manusia tentu harus mengerti dan tahu hakikat kemanusiaannya. Dengan itu kita akan diberikan pilihan berjalan dengan fitrah kemanusiaan kita atau kita akan berjalan berlawanan arah dengan fitrah kemanusiaan. 

Berjalan dengan fitrah kemanusiaan sesungguhnya akan mengantarkan kita sampai kepada tujuan kita yang sesungguhnya. Manusia senantiasa mencari sesuatu yang sempurna dalam hidupnya. Pencarian yang sempurna tentu melalui sebuah proses yang panjang dan melelahkan. Pada mulanya manusia mencari yang diinginkan itu pada hal-hal yang bersifat materi atau kebendaan, berupa harta, uang, kecantikan fisik yang pada intinya adalah kemewahan dunia. Untuk hal-hal yang sifatnya materi tentu panca indera merupakan alat utama untuk mendapatkannya. Capaian yang kita raih akan terasa ketidakpuasan karena segala yang bersifat materi-jasmaniah pastilah mengalami perubahan dan akhirnya musnah. Logika mengajarkan kepada kita bahwa yang ditangkap oleh indera seringkali melahirkan tipuan, bahkan tidak sesuai dengan kenyataannya. Sebuah Fatamorgana yang kita saksikan di siang hari, dari kejauhan kita melihat ada air, namun hakikatnya bukan air yang kita lihat melainkan hanya fatamorgana. Ini adalah sebuah gambaran sederhana bahwa betapa tidak sepatutnya kita percaya terhadap segala sesuatu yang empirik sebagai sebuah kebenaran yang hakiki.

Berangkat dari sini kita butuh sebuah pegangan kuat agar kita tidak termasuk orang yang merugi. Untuk mencari yang sempurna, tampaknya akal amat perlu dikedepankan. Bagi manusia, akal merupakan penuntun untuk mengetahui kebenaran. Al-qur'an sangat mengapresiasi betapa terpujinya mereka yang mampu menggunakan akalnya dengan baik. Bahkan, mereka yang tidak memfungsikan akalnya dengan baik mereka diberikan predikat binatang bahkan lebih rendah dari binatang. 

QS. Al-A'raf : 179

وَلَقَدۡ ذَرَأۡنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِۖ لَهُمۡ قُلُوبٞ لَّا يَفۡقَهُونَ بِهَا وَلَهُمۡ أَعۡيُنٞ لَّا يُبۡصِرُونَ بِهَا وَلَهُمۡ ءَاذَانٞ لَّا يَسۡمَعُونَ بِهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَٱلۡأَنۡعَٰمِ 

بَلۡ هُمۡ أَضَلُّۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡغَٰفِلُونَ  

Terjemahnya:

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.

Binatang sebenarnya meski tidak berakal masih memberi manfaat, yakni bisa dipakai membajak, dagingnya dapat di makan dan harganya bermanfatt sementara manusia yang tidak memfungsikan akal sehatnya justru tidak memberi sumbangan apa-apa bagi kemanusiaan.

Penting bagi kita agar memfungsikan akal dengan baik, diasah dan dilatih agar dapat mengenal Sang Pencipta-Nya. Bahkan dalam literatur filsafat Islam mengakui bahwa akal dapat digunakan untuk membuktikan eksistensi atau adanya Tuhan. 

Satu hal yang perlu menjadi perhatian dalam pembahasan ini adalah kategorisasi akal sebagai daya/sarana dan sebagai sumber. Adakalanya daya akal digunakan untuk memahami Al-Qur'an dan Sunnah, serta dianggap sebagai sarana mengenali ajaran-ajaran wahyu. Namun, tak jarang daya akal itu didudukkan di bangku pengadilan dan dipersepsi sebagai sumber khas untuk memproduksi hukum syariat.

Yang umumnya dipandang sebelah mata, bahkan dilecehkan posisinya, adalah akal sebagai sumber; bukan sebagai sarana pengetahuan. Karena, setidaknya dikalangan pemikir Islam, tak seorang pun yang berbeda pendapat tentang urgensi  akal dalam memahami Al-Qur'an dan Sunnah. Kendati menurut sebagian tokoh Kristen, Posisi semacam ini juga disangkal akal. Mereka yakin, demi meraih iman, pemahaman dan pemikiran harus ditepikan.

Mungkin diantara kita ada yang bertanya apakah akal itu? tidak seorang pun mengetahui hakikat akal. Kita tidak dapat mengetahui hakikat mutiara berharga ini. Kita hanya mampu mengetahuinya melalui efek-efek yang ditimbulkan, bisa juga melalui fungsinya. Pada umumnya para filosof mendefinisikan akal berdasarkan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh akal. 

Syaikh Syihabuddin Suhrawardi Al-Maqtul menjelaskan bahwa yang pertama diciptakan Allah adalah mutiara cemerlang yang dinamai Akal. Mutiara ini dilekatkan padanya tiga sifat. yaitu : pertama, kemampuan untuk mengenal Allah. Kedua, diberikan kepadanya kemampuan untuk mengenal dirinya, dan Ketiga, Kemampuan untuk mengetahui apa yang belum ada dan kemudian ada. Dan dari kemampuan mengenal Allah muncullah keindahan. Dari kemampuan mengenal dirinya muncullah cinta. Serta kemampuan mengenal apa yang belum ada kemudian ada timbullah kesedihan. Dan dari ketiganya ini adalah bersumber dari satu realitas.

Akal merupakan pelita pemahaman dan penyimpulan. Tanpa bantuan cahayanya, memahami Al-Qur'an dan Sunnah menjadi sukar, bahkan bisa mustahil. Akal meyakinkan manusia sebuah nuktah, bahwa penciptaan dan keberadaannya tidak sia-sia; dia didatangkan ke dunia dalam rangka menempuh jenjang kesempurnaan mutlak dan meraih keselamatan abadi. Akal juga mampu memahamkan bahwa untuk tujuan itu, manusia harus mengerjakan apapun yang di ridhoi Allah dan menghindari yang dibenci-Nya. Namun, akal akan berhenti lemah sampai batas menyingkap rincian dan seluk-beluk parsial jalan keselamatan itu; batas yang tak sanggup di lampauinya. Hanya dengan arahan wahyu, manusia bisa mengetahui rincian seluk beluk perjalanannya dan cara menempuhnya. Tanpa petunjuk wahyu, akal bukan lagi mitra manusia yang sepatutnya menerangkan aneka hubungan tutur dan prilakunya di dunia ini dengan pengaruh dan dampaknya di akhirat sana.

Lalu peran akal apa? Akal sebagai tolok ukur, akal mengafirmasi kebenaran agama, akal membuktikan prinsip-prinsip keimanan, akal melindungi Agama dari penyimpangan, Akal sebagai kunci dan pelita untuk membedakan yang baik dan yang buruk.

Sumber Bacaan:

  1. Hasan Yusufian & Ahmad Husain Sharifi, Akal & Wahyu; Tentang Rasionalitas Dalam Ilmu, Agama dan Filsafat, (Cet.1; Jakarta: Sadra Press, 2011)
  2. Muh. Ridwan Z. Menemukan Yang Dicari; Sebuah Perdebatan dari Logika hingga Filsafat, TT
  3. Nurdin, Orisinalitas Akal dan Metafisika Al-Qur'an (Menangkap Makna-Makna Tauhid), Skripsi .
Oleh:
Nurdin

No comments:

Post a Comment