Wednesday, December 9, 2020

Pandangan Aksin Wijaya Terhadap Dominasi Nalar Arab Dalam Teks Keagamaan

Menalar autentisitas wahyu Tuhan, sejatinya bukan untuk mengundang polemik di tengah-tengah masyarakat muslim, namun lebih kepada menampakkan sebuah model kegelisah baru seperti yang dituangkan Aksin Wijaya dalam buku karyanya yang sangat fenomenal. Aksan Wijaya ingin melontarkan gagasan-gagasan yang mempermasalahkan Mushaf Utsmani yang oleh sebagian besar pengkaji Al-Qur'an justru tidak lagi menjadi sebuah masalah. Beberapa pemikir kontemporer, seperti Amin al-Khuli, Fazlur Rahman, Abdul Karim Soroush, Hassan Hanafi, dan beberapa tokoh pemikir lainnya telah menawarkan sekian banyak metodologi serta serangkaian pemikiran kritis lainnya tentang Al-Qur'an, justru tidak menemukan kritikannya terhadap Mushaf Usmani sebagai korpus yang pantas digugat dan dipersoalkan, walaupun sebenarnya mereka bisa saja mempertanyakan proses kodifikasi yang terjadi di masa Usman bin Affan.

Ada satu hal yang menarik untuk dikemukakan pada artikel kali ini adalah terkait perdebatan seputar ke-qadim-an wahyu Tuhan. Istilah tentang qadim mestinya tidak digeneralisasi pada semua sesuatu yang berhubungan dengan wahyu Tuhan, sebab wahyu Tuhan menurut Aksan Wijaya telah mengalami distorsi hebat. 

Wahyu Tuhan yang telah dijanjikan terpelihara oleh Tuhan, kini tidak lagi bersama kita, ia berada di haribaan-Nya. Wahyu Tuhan yang kekal dan abadi maksudnya adalah bahwa yang berada di haribaan Tuhan, bukan yang berada di tangan manusia saat ini.

Wahyu Tuhan yang telah dibawa oleh Muhammad Saw. kepada masyarakat Islam pada fase awal di negeri gurun pasir itu yang masih dalam tahap wacana lisan yang disebut dengan Al-Qur'an, kini telah tereduksi dan mengalami penjara di language Arab dan teks mushaf ustmani. Ia telah menjadi teks tulisan, yang sempurna lahir di era khalifah Usman bin Affan. apatah lagi setelah munculnya teknologi percetakan yang dapat mengabadikan wacana lisan ke dalam sebuah teks tulisan. Sebagai teks tulisan, di mana cara memahaminya tidak lagi bergantung pada kehadiran subjek penutur sebagaimana wacana lisan, maka tidak lagi hadir bersama subjek yang membawanyya dan mengucapkannya, melainkan hadir bersama teks tulisan di atas kertas. lalu masihkan Mushaf Ustmani, yang selama ini dirancukan dengan al-Qur'an dan wahyu dikatakan qadim, hadir sejak dahulu kala sebelum kehadiran manusia di muka bumi ini.

Umat Islam meyakini bahwa wahyu Tuhan bersifat suci dan sakral, karena ia bagian dari diri Tuhan, sedangkan yang dimaksud dengan wahyu Tuhan di dunia ini ditujukan pada Mushaf Ustmani. dan tentu pada gilirannya Mushaf Ustmani dianggap dan dinilai suci. Ini jelas sebuah reduksi yang mengagumkan yang tidak terdeteksi secara epistemologis, sehingga tak satupun orang yang tidak percaya bahwa apa yang ada di tangan kita saat ini sebagai sesuatu yang suci, lebih-lebih di sampul luar kitab tersebut terdapat ayat yang mendukung  kesuciannya sebagai wahyu Tuhan, sebuah potongan ayat bertuliskan "la yammassahu illal muththahharun" (QS. Al-Waqiah: 79). dan akibatnya semua orang menghormati Mushaf Ustmani sebagaimana  layaknya menghormati wahyu Tuhan.

Penyamaan Mushaf Ustmani dengan wahyu Tuhan seperti yang telah disampaikan di atas menjadi sebuah labelisasi suci yang dogmatis. Jika wahyu Tuhan diyakini sebagai yang suci, maka yang suci bukan maknanya, tetapi juga lafazd yang menjadi wadahnya. Oleh karena Mushaf Ustmani diyakin sebagai sebagai perwujudan wahyu Tuhan yang suci, demikian pula unsur-unsur yang berhubungan dengan Mushaf. Bagi seorang yang ingin Mushaf, di persyaratkan harus memiliki wudhu sebagai anda kesucian, baik suci dari hadis kecil maupun hadis besar, maupun suci dari zat dirinya sebagai seorang muslim. Membaca Mushaf, sekalipun tidak mengetahui maknanya, diyakini akan mendapat pahala dari Tuhan, yaitu pahala dari penghargaannya terhadap lafadz mushaf yang suci, sebagaimana membaca al-Qur'an. Karena itu, tradisi bacaan dengan sura merdu semarak di mana-mana, khususnya bagi kalangan awam yang tidak dapat memahami bahasa tulisan.

Keyakinan terhadap lafadz Mushaf  Ustmani sebagai sesuatu yang suci pada gilirannya mempengaruhi keyakinan bahwa bahasa Arab yang digunakan oleh Mushaf Ustmani sebagai yang suci. Kesucian bahasa Arab bukan saja terletak pada bahasa Arab Mushaf Ustmani, tetapi juga bahasa Arab masyarakat Arab pada umumnya, baik dalam bentuk bahasa tulisan, puisi, karya ilmiah dan lain sebagainya. Hingga kemudian bahasa Arab dijadikan sebagai pelajaran khusus dalam lembaga pendidikan keagamaan, yang pada akhirnya kian menambah kesakralan bahasa Arab.

Ada satu narasi yang tersirat dibalik karya Aksin Wijaya bahwa jika sekiranya pesan Tuhan dapat lepas dari jeratan itu, maka diperlukan sebuah analisis yang bercorak filosofis-dekonstrukif. kita mencoba mendialogkan pesan Tuhan dengan cara yang bebas, lepas dari bayang-bayang budaya Arab klasik dan selanjutnya kita menggali pesan Tuhan dari mushaf ustmani, dimana pesan Tuhan terpenjara di dalamnya. Dialog bebas penting karena Mushaf Ustmani ini bukan lagi murni wahyu Tuhan sebagaimana yang dijanjikan akan dijaga, melainkan perangkap budaya Arab yang jika kita tidak kritis, tentu kita juga akan terperangkap dalam penjara yang sama. Selamat Membaca dan Salam Literasi

Sumber Bacaan:

Aksin Wijaya, Menalar Autentisitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender, (Cet. I) Yogyakarta: IRCiSoD, 2020 (ISBN 978-623-6699-17-1)

Wednesday, September 23, 2020

Pengantar PRA, RRA dan Pengelolaan Program Kegiatan Bersama Masyarakat


Salah satu fungsi paling pokok seorang pengorganisir, baik yang memang berasal dari masyarakat setempat ataupun berasal dari luar, adalah memfasilitasi rakyat yang diorganisir dengan baik.

Masyarakat harus senantiasa terus menerus diajak berpikir dan menganalisis secara kritis keadaan dan masalah mereka sendiri. Hanya dengan demikian mereka akan mampu memiliki wawasan baru, kepekaan dan kesadaran memungkinkan mereka memiliki keinginan untuk bertindak, melakukan sesuatu untuk merubah keadaan yang mereka alami. Tindakan mereka itu kemudian dinilai, direnungkan kembali, dikaji-ulang untuk memperoleh wawasan baru lagi, pelajaran berharga yang akan menjaga arah tindakan-tindakan mereka berikutnya.

Mengorganisir masyarakat adalah bukan pekerjaan mudah apalagi peneliti pemula, ada banyak hal yang perlu dipersiapkan serta langkah yang harus dikuasai, seperti bagaimana mempersiapkan masyarakat sendiri untuk menjadi pelaku utama dalam aksi tersebut dan tanpa terkesan bahwa mereka digurui. Masyarakat harus senantiasa dilibatkan dalam setiap hal dari sejak tahapan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan tindak-lanjut suatu aksi. Merekalah yang akan menentukan aksi serta tujuan-tujuan yang ingin mereka capai.

Lalu peran peneliti luar atau pengorganisir masyarakat dalam seluruh proses rangkaian aksi tersebut, apa? Tak  lebih adalah hanya sebagai fasilitator yang membantu masyarakat menemukan cita-cita dan harapannya secara sistematis termasuk menyediakan informasi penting yang mereka butuhkan dari luar.

Mengorgansir masyarakat, tentunya memiliki tujuan untuk mencapai perubahan sosial yang lebih baik, lebih besar dan lebih luas. Namun, masih cukup banyak pengorgansir masyarakat yang sering kesulitan merumuskan apa yang mereka perjuangkan dalam jangka panjang. Sehingga menurut Agus Afandi sebagai instruktur dalam kegiatan Shortcourse Pengabdian Kepada Masyarakat Dirjen Pendidikan Islam Tahun 2020 bahwa pengelolaan program atau kegiatan bersama masyarakat harus melalui tahapan-tahapan terstruktur, mulai dari identifikasi masalah, perencanaan atau desain program, pelaksanaan dan pemantauan. Oleh karena itu harapan beliau kepada peserta pelatihan bahwa dalam mempersiapkan program kegiatan bersama masyarakat tidak asal-asalan, melainkan melalui persiapan yang terencana dan matang dalam program tersebut.

Dalam Pelatihan tersebut, Instruktur banyak memberikan simulasi, dimulai dari temuan problem yang sudah dirumuskan pada praktek dan simulasi Partisipatory Rural Appraisal (PRA) Dan Rapid Rural Appraisal (RRA). Pada dasarnya prinsip-prinsip PRA dan RRA adalah memutar kembali proses belajar masyarakat, memperbaiki kesalahan-kesalahan, triangulasi, menemukan keragamaan, mengutamakan fasilitas proses, membangun kesadaran kritis masyarakat dan tanggung jawab serta siap berbagi bersama dalam mewujudkan transformasi sosial yang lebih baik.

Selain itu, instruktur juga berbagi tentang bagaimana proses pengorganisasian yang baik, yaitu : mulai dari rakyat itu sendiri, masyarakat diajak berpikir kritis, melakukan analisis kearah pemahaman bersama, capai pengetahuan, kesadaran, perilaku baru, lakukan tindakan atau aksi serta evaluasi tindakan itu.

Proses pengorganisasian memerlukana tahapan-tahapan seperti berikut: memulai pendekatan, memfasilitasi proses, merancang strategi, mengerahkan tindakan, menata organisasi, membangun sistem pendukung.

Dalam keseluruhan proses atau langkah perumusan strategis tersebut, peserta pelatihan tetap jangan lupa bahwa dia harus membuatnya semudah mungkin dipahami oleh masyarakat.

Oleh : Nurdin, S.Fil.I., M.Fil.I (IAI As'adiyah Sengkang)



Sunday, September 6, 2020

AKAL, SARANA ATAU SUMBER? MENELAAH PERAN AKAL DALAM PRINSIP BERAGAMA

Kita sebagai manusia telah bermukim di bumi ini. Kita telah menikmati hidup di dalam kehidupan ini. Kita telah hidup di dalam masyarakat. Tetapi pernahkah kita mencari tahu siapa sesungguhnya "aku" kita? apakah kita pernah mencari tahu siapa yang mengadakan kita? yang telah memberikan kehidupan kepada kita dengan berbagai fasilitas yang ada dan begitu lengkap. 

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini sebenarnya sudah ada dalam diri setiap manusia, siapapun orangnya, sebagai manusia tentu harus mengerti dan tahu hakikat kemanusiaannya. Dengan itu kita akan diberikan pilihan berjalan dengan fitrah kemanusiaan kita atau kita akan berjalan berlawanan arah dengan fitrah kemanusiaan. 

Berjalan dengan fitrah kemanusiaan sesungguhnya akan mengantarkan kita sampai kepada tujuan kita yang sesungguhnya. Manusia senantiasa mencari sesuatu yang sempurna dalam hidupnya. Pencarian yang sempurna tentu melalui sebuah proses yang panjang dan melelahkan. Pada mulanya manusia mencari yang diinginkan itu pada hal-hal yang bersifat materi atau kebendaan, berupa harta, uang, kecantikan fisik yang pada intinya adalah kemewahan dunia. Untuk hal-hal yang sifatnya materi tentu panca indera merupakan alat utama untuk mendapatkannya. Capaian yang kita raih akan terasa ketidakpuasan karena segala yang bersifat materi-jasmaniah pastilah mengalami perubahan dan akhirnya musnah. Logika mengajarkan kepada kita bahwa yang ditangkap oleh indera seringkali melahirkan tipuan, bahkan tidak sesuai dengan kenyataannya. Sebuah Fatamorgana yang kita saksikan di siang hari, dari kejauhan kita melihat ada air, namun hakikatnya bukan air yang kita lihat melainkan hanya fatamorgana. Ini adalah sebuah gambaran sederhana bahwa betapa tidak sepatutnya kita percaya terhadap segala sesuatu yang empirik sebagai sebuah kebenaran yang hakiki.

Berangkat dari sini kita butuh sebuah pegangan kuat agar kita tidak termasuk orang yang merugi. Untuk mencari yang sempurna, tampaknya akal amat perlu dikedepankan. Bagi manusia, akal merupakan penuntun untuk mengetahui kebenaran. Al-qur'an sangat mengapresiasi betapa terpujinya mereka yang mampu menggunakan akalnya dengan baik. Bahkan, mereka yang tidak memfungsikan akalnya dengan baik mereka diberikan predikat binatang bahkan lebih rendah dari binatang. 

QS. Al-A'raf : 179

وَلَقَدۡ ذَرَأۡنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِۖ لَهُمۡ قُلُوبٞ لَّا يَفۡقَهُونَ بِهَا وَلَهُمۡ أَعۡيُنٞ لَّا يُبۡصِرُونَ بِهَا وَلَهُمۡ ءَاذَانٞ لَّا يَسۡمَعُونَ بِهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَٱلۡأَنۡعَٰمِ 

بَلۡ هُمۡ أَضَلُّۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡغَٰفِلُونَ  

Terjemahnya:

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.

Binatang sebenarnya meski tidak berakal masih memberi manfaat, yakni bisa dipakai membajak, dagingnya dapat di makan dan harganya bermanfatt sementara manusia yang tidak memfungsikan akal sehatnya justru tidak memberi sumbangan apa-apa bagi kemanusiaan.

Penting bagi kita agar memfungsikan akal dengan baik, diasah dan dilatih agar dapat mengenal Sang Pencipta-Nya. Bahkan dalam literatur filsafat Islam mengakui bahwa akal dapat digunakan untuk membuktikan eksistensi atau adanya Tuhan. 

Satu hal yang perlu menjadi perhatian dalam pembahasan ini adalah kategorisasi akal sebagai daya/sarana dan sebagai sumber. Adakalanya daya akal digunakan untuk memahami Al-Qur'an dan Sunnah, serta dianggap sebagai sarana mengenali ajaran-ajaran wahyu. Namun, tak jarang daya akal itu didudukkan di bangku pengadilan dan dipersepsi sebagai sumber khas untuk memproduksi hukum syariat.

Yang umumnya dipandang sebelah mata, bahkan dilecehkan posisinya, adalah akal sebagai sumber; bukan sebagai sarana pengetahuan. Karena, setidaknya dikalangan pemikir Islam, tak seorang pun yang berbeda pendapat tentang urgensi  akal dalam memahami Al-Qur'an dan Sunnah. Kendati menurut sebagian tokoh Kristen, Posisi semacam ini juga disangkal akal. Mereka yakin, demi meraih iman, pemahaman dan pemikiran harus ditepikan.

Mungkin diantara kita ada yang bertanya apakah akal itu? tidak seorang pun mengetahui hakikat akal. Kita tidak dapat mengetahui hakikat mutiara berharga ini. Kita hanya mampu mengetahuinya melalui efek-efek yang ditimbulkan, bisa juga melalui fungsinya. Pada umumnya para filosof mendefinisikan akal berdasarkan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh akal. 

Syaikh Syihabuddin Suhrawardi Al-Maqtul menjelaskan bahwa yang pertama diciptakan Allah adalah mutiara cemerlang yang dinamai Akal. Mutiara ini dilekatkan padanya tiga sifat. yaitu : pertama, kemampuan untuk mengenal Allah. Kedua, diberikan kepadanya kemampuan untuk mengenal dirinya, dan Ketiga, Kemampuan untuk mengetahui apa yang belum ada dan kemudian ada. Dan dari kemampuan mengenal Allah muncullah keindahan. Dari kemampuan mengenal dirinya muncullah cinta. Serta kemampuan mengenal apa yang belum ada kemudian ada timbullah kesedihan. Dan dari ketiganya ini adalah bersumber dari satu realitas.

Akal merupakan pelita pemahaman dan penyimpulan. Tanpa bantuan cahayanya, memahami Al-Qur'an dan Sunnah menjadi sukar, bahkan bisa mustahil. Akal meyakinkan manusia sebuah nuktah, bahwa penciptaan dan keberadaannya tidak sia-sia; dia didatangkan ke dunia dalam rangka menempuh jenjang kesempurnaan mutlak dan meraih keselamatan abadi. Akal juga mampu memahamkan bahwa untuk tujuan itu, manusia harus mengerjakan apapun yang di ridhoi Allah dan menghindari yang dibenci-Nya. Namun, akal akan berhenti lemah sampai batas menyingkap rincian dan seluk-beluk parsial jalan keselamatan itu; batas yang tak sanggup di lampauinya. Hanya dengan arahan wahyu, manusia bisa mengetahui rincian seluk beluk perjalanannya dan cara menempuhnya. Tanpa petunjuk wahyu, akal bukan lagi mitra manusia yang sepatutnya menerangkan aneka hubungan tutur dan prilakunya di dunia ini dengan pengaruh dan dampaknya di akhirat sana.

Lalu peran akal apa? Akal sebagai tolok ukur, akal mengafirmasi kebenaran agama, akal membuktikan prinsip-prinsip keimanan, akal melindungi Agama dari penyimpangan, Akal sebagai kunci dan pelita untuk membedakan yang baik dan yang buruk.

Sumber Bacaan:

  1. Hasan Yusufian & Ahmad Husain Sharifi, Akal & Wahyu; Tentang Rasionalitas Dalam Ilmu, Agama dan Filsafat, (Cet.1; Jakarta: Sadra Press, 2011)
  2. Muh. Ridwan Z. Menemukan Yang Dicari; Sebuah Perdebatan dari Logika hingga Filsafat, TT
  3. Nurdin, Orisinalitas Akal dan Metafisika Al-Qur'an (Menangkap Makna-Makna Tauhid), Skripsi .
Oleh:
Nurdin

Thursday, August 27, 2020

RISALAH (4) AHLUSSUNNAH WALJAMAAH MENURUT KH. SYUKRON MA'MUN


Sebagaimana telah diurai pada pembahasan sebelumnya, bahwa Ahlussunnah wal-Jamaah merupakan kelompok yang mayoritas Islam di dunia. Kelompok ini menurut KH. Syukron Makmun bahwa di dalam mempelajari ilmu Tauhid mazhab Ahlussunnah wal-Jamaah menggunakan dua dalil, yaitu dalil naqli dan dalil aqli. 

Dalil merupakan landasan seorang muslim dalam melakukan suatu ibadah atau suatu perkara hukum didalam agama. Dalil Naqli yaitu dalil yang bersumber pada Al-qur'an dan hadis, sedangkang dalil aqli adalah dalil yang bersumber pada pemikiran dan manusia mengenai penerapan hukum.

Salah satu mazhab di dalam Islam yang lebih mengutamakan dalil akal daripada dalil yang bersumber dari Al-qur'an dan hadis adalah mazhab Mu'tazilah. Golongan ini berani menafsirkan Al-qur'an menurut akal mereka, sehingga ayat-ayat Al-qur'an disesuaikan dengan akal mereka.

Jika sekiranya ada hadis yang bertentangan dengan akal, mereka tinggalkan  hadis dan mereka berpegang kepada akal pikiranya. Ini merupakan antitesa dari golongan yang disebut Ahlul Atsar. 

Ahlul Atsar memiliki corak pemikiran yang berbeda dengan Mu'tazilah. Ahlul Atsar hanya berpegang kepada Al-qur'an dan hadis. Mereka tidak berani menafsirkan Al-qur'an menurut akal mereka, karena khawatir keliru dan salah dalam menafsirkan ayat-ayat, terutama yang sifatnya mutasyabihat. Mereka menyerahkan urusan ini kepada Allah Swt.

Seperti firman Allah Swt di dalam surah Al-Fath: 10 yang artinya : "...Tangan Allah di atas tangan mereka...."

Ahlul Atsar tidak mau menafsirkan apa yang dimaksud dengan tangan pada ayat tersebut, mereka menyerahkan maknanya kepada Allah Swt. Fatwa mereka hanya berdasarkan teks semata (apa yang tertulis pada Al-qur'an dan hadis). Apabila mereka tidak menjumpai dalam Al-qur'an dan hadis mereka tidak berani untuk berfatwa. Dari golongan ini lahirlah seorang Imam yang bernama Muhammad  bin Abdul Wahab lahir di Nejad tahun 1703 M.

Hingga kemudian, mazhab Ahlussunnah wal-Jamaah yang diprakarsai oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi berupaya mengembalikan ajaran Islam kepada Sunnah Rasulullah Saw dan para sahabatnya dengan berpegang kepada dalil-dalil Al-qur'an dan hadis dengan tidak meninggalkan dalil-dalil akal. Golongan ini tidak menafikan akal tetapi lebih mengutamakan dalil Al-qur'an dan hadis.

Golongan Ahlussunnah wal-Jamaah mendahulukan atau mengutamakan dalil naqli daripada akal. Akal manusia diibaratkan mata, kemudian dalil naqli diibaratkan pelita, agar mata kita tidak tersesat, maka pelita kita letakkan di depan kemudian mata kita mengikuti pelita. Akal manusia mengikuti dalil Al-qur'an dan hadis, bukan Al-qur'an dan hadis yang harus menyesuaikan dengan akal manusia. 

Rasulullah Saw bersabda : لا دين لمن لا عقل له  (Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal).  KH. Syukron Makmun mengurai hadis ini bahwa orang yang berakal menerima agama. Akal manusia menerima agama, bukan agama menerima akal, karena akal manusia bermacam-macam, kadang dipengaruhi nafsunya dan tidak mustahil  dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang mungkin bertentangan dengan Islam. Agama adalah syariat yang diletakkan oleh Allah Swt. bersumberkan kepada wahyu dan sunnah Rasulullah Saw bukan bersumber pada akal. "Agama bukan akal manusia dan akal manusia bukan agama."

Wallahu A'lam Bish-shawab

Sumber Bacaan:
KH. Syukron Ma'mun, Risalah Pemantapan Ahlissunnah Wal-Jamaah, (Tanpa Penerbit; Jakarta, 1988)


Thursday, June 18, 2020

RISALAH (3) AHLUSSUNNAH WALJAMAAH MENURUT KH. SYUKRON MA'MUN

Sumber Gambar : Klik DISINI
Alhamdulillah robbil alamin, kami bisa kembali lagi menulis setelah harus menyelesaikan beberapa kegiatan yang hampir bersamaan. Nah, pada artikel kali ini, kita akan melanjutkan kajian tentang risalah ahlussunnah wal jamaah menurut pandangan KH. Syukron Ma'mun. 

Tentu telah kita pahami bahwa Ahlusunnah wal-Jamaah merupakan golongan  mayoritas di dalam dunia Islam. Menurut KH. Syukron Ma'mun bahwa salah satu golongan yang lebih mengutamakan dalil naqli (Al-Qur'an dan Hadis) dari pada dalil Aqli (akal). Dalam ilmu Kalam, Ahlussunnah wal Jamaah terbagi ke dalam 3 kelompok atau golongan:

Golongan Ahli Atsar ( مذهب أهل الأثر )

Golongan ini merupakan pengikuti Al-Imam Ahmad Ibnu Hanbal, Beliau lahir pada tahun 164 H. dan wafat pada  tahun 248 H. Beliau terkenal sebagai pembela sunnah Rasulullah Saw. berpegang teguh kepada apa yang dikerjakan pada sahabat dan para tabiin. Beliau tidak mengakui pendapat yang timbul setelah zaman sahabat dan tabiin. 

Beliau sempat dipenjara pada zaman khalifah Abbasiyah karena mempertahankan sunnah, ketttika beliau di tanya oleh khalifah, Al-Qur'an itu Qodim apa hadis (baru)? Beliau menjawab Al-Qur'an adalah Kalamullah Qodim, karena jawaban beliau bertentangan dengan pendapat penguasa, maka beliau terpaksa menjalani hukuman penjara. Madzhab penguasa ketika itu adalah madzhab mu'tazilah.

Ulama golongan ini dalam membahas ilmu kalam hanya berpegang teguh kepada dalil naqli (Al-Qur' dan Sunnah), hanya kadang memakai dalil akal.

Mereka tidak berani berfatwa kecuali yang mereka dapatkan dari Al-Qur'an dan Hadis. Mereka tidak berani pula menafsirkan ayat-ayat al-muthasyabihat dan tidak menjelaskan pula, bahkan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah, bahkan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. karena mereka merasa khawati takut keliru apabila menafirkannya. Sebagai contoh, di dalam Al-Qur'an sebagai berikut :

QS. Al-Fath : 10
إِنَّ ٱلَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ ٱللَّهَ يَدُ ٱللَّهِ فَوۡقَ أَيۡدِيهِمۡۚ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَىٰ نَفۡسِهِۦۖ وَمَنۡ أَوۡفَىٰ بِمَا عَٰهَدَ عَلَيۡهُ ٱللَّهَ فَسَيُؤۡتِيهِ أَجۡرًا عَظِيمٗا 
Terjemahnya : Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.

Ayat yang di bold tersebut di atas, mereka mengartikan tangan Allah di atas tangan mereka, mereka tidak berani menjelaskan dan menafsirkan kata tangan dalam ayat tersebut. Sementara ulama yang lain menafsirkan bahwa maksud kata tangan dalam ayat tersebut adalah persetujuan/kesepakatan.

QS. Ar-Rahman : 27
وَيَبۡقَىٰ وَجۡهُ رَبِّكَ ذُو ٱلۡجَلَٰلِ وَٱلۡإِكۡرَامِ
Terjemahnya : Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. 
Golongan ahlul atsar mengartikan ayat tersebut di atas "Wajhu Rabbik" yaitu wajah Allah yang mempunyai keagungan dan kemuliaan. Mereka tidak berani menjelaskan  apa yang dimaksud dengan kata wajah (muka) mereka menyerahkan kepada Allah, sedangkan ulama mutaakhirin menafsirkan wajah adalah zat atau diri Allah (والله أعلم)

Sehingga diantara mereka yang ekstrim hanya mengikuti makna lahirnya ( ظاهر اللفظ ) golongan ini disebut Al-Mujassimah. Mereka mempunyai keyakinan sebagaimana tekstualnya Al-Qur'an, Allah mempunyai tangan, bagaimana tangan Allah yang dimaksud dalam Al-Qur'an, serahkan saja kepada Allah bukan hak kita untuk menjelaskan. Tidak ada sesuatu yang menyerupai Allah ( ليس كمثله شئ )

Mempertanyakan tentang bagaimana wajah Allah atau tangan Allah adalah suatu hal yang bid'ah, yang penting Allah mempunyai tangan, wajah yang tidak seperti tangan dan wajah kita sebagai manusia. masalahnya diserahkan kepada Allah. Dari pengikut Ahlil Atsar ini lahirlah seorang Imam yang bernama Muhammad bin Abd Wahhab di Nejad pada Tahun 1703 M. yang dianggap sebagai seorang pembaharu atau mujaddid yang kemudian belakangan dikenal dengan kelompok Wahabiyah.

Golongan Al-Asyaairoh ( مذهب الأشاعرة )

Golongan yang kedua ini merupakan pengikut Imam Abul Hasan Al-Asyari yang dilahirkan di Bashrah pada tahun 260 H dan wafat pada tahun 324 H. awal abad ke IV Hijriyah. Beliau belajar kepada ulama Mu'tazilah diantaranya Imam Muhammad bin abdul Wahab Al-Jabal. Pada masa itu Mu'tazilah merupakan mazhab Pemerintah Khalifah Abbasiyah, sebagai pendukung  utamanya khalifah al-Ma'mun bin Harun Ar-Rasyid, Khalifah Al-Mu'sashim dan Khalifah al-Wa Asiq bil Allah.

Al-Imam Abul Hasan Al-Asy-ari merupakan pengikut setia dan penganjur kuat mazhab Mu'tazilah. Setelah beliau banyak melihat kekeliruan dalam mazhab Mu'tazilah, beliau menyatakan dengan tegas keluar dari mazhab Mu'tazilah di depan khalayak ramai dan bergabung kepada mazhab Ahlus Sunnah Wal-Jamaah. Beliau secara terang-terangan menantang dan menolak paham Mu'tazilah dengan dalil-dalil yang tegas. Mazhab Al-Asyaairah ini terkenal di Iraq pada awal abad ke IV H.

Mereka telah memperluas pembahasan ilmu kalam dan dalam menetapkan pembahasannya berdasarkan dalil-dalil akal dengan mengutamakan dalil-dalil naqli (Al'Quran dan Hadis) dan tidak terlalu mendalami ayat-ayat al-Mutasyabihat. Pendapat Imam Abul Hasan Al-Asy'ari mendapat dukungan kuat dari ulama-ulama di seluruh dunia, sehingga kitab-kitab karangan beliau tetap menjadi maraaji' mazhab Ahlussunnah Wal-Jamaah di seluruh  dunia sampai saat ini.


Golongan Al-Maturidiyah ( مذهب الماتريدية )

Golongan selanjutnya adalah Al-Maturidiyah, pengikuti Imam Abu Mansur Al-Maturidi, golongan ini pertama kali muncul di negeri Khurasani bersamaan munculnya golongan Asyaairah di Iraq.

Corak pemikiran antara golongan Al-Asyaairoh dengan Al-Maturidiyah tidak ada perbedaan pokok, perbedaannya. kalaupun ada perbedaan tidak sampai pada persoalan yang prinsip. Abu Mansur Al-Maturidiyah merupakan pembela Ahlussunnah Wal-Jamaah dari pertentangan dengan golongan Mu'tazilah. Kedua golongan ini hidup semasa dan mempunyai tujuan yang  sama yaitu membendung dan melawan golongan Mu'tazilah. Al-Asyaairah yang berkembang di Bashrah dan Iraq berupaya menentang perkembangan Mu'tazilah. dan Al-Maturidiyah menghadapi Mu'tazilah di negerinya yaitu Samarkand dan Iran pada umumnya.

Pengikuti Maturidiyah telah memberanikan diri untuk mencoba menafsirkan ayat-ayat yang mutasyabihat seperti firman Allah dalam QS. Thoha : 5
ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
Terjemahnya: (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy. 
Arsy bukan berarti tahta atau singgasana, tetapi Arsy merupakan kebesaran dan keagungan Allah Swt.

Ketiga mazhab inilah yang diakui sebagai mazhab dalam golongan Ahlussunnah Wal-Jamaah yang merepresentasikan Islam jalan tengah di dalam Ilmu Kalam.

Sumber Bacaan:
KH. Syukron Ma'mun, Risalah Pemantapan Ahlissunnah Wal-Jamaah, (Tanpa Penerbit; Jakarta, 1988)