Sunday, September 14, 2025

Moderasi Beragama: Jalan Damai atau Alat Kendali?

Moderasi beragama sering dielu-elukan sebagai solusi atas problem intoleransi di Indonesia, tetapi pertanyaan kritis patut diajukan: apakah ia sungguh-sungguh jalan damai yang lahir dari kesadaran masyarakat, ataukah hanya alat kendali yang dipaksakan dari atas untuk menekan ketegangan sosial? Di satu sisi, moderasi beragama menjanjikan ruang dialog, penghormatan perbedaan, dan kehidupan bernegara yang harmonis. Namun di sisi lain, jika ia dijalankan secara seremonial tanpa menyentuh akar ketidakadilan, ia berpotensi menjadi kosmetik sosial—menenangkan permukaan konflik tetapi membiarkan bara diskriminasi tetap menyala.

Pancasila, sebagai dasar negara, seharusnya menjadi panduan moral yang hidup di hati warga, bukan hanya slogan yang dihafalkan di upacara sekolah. Ketika intoleransi masih marak, diskriminasi terhadap kelompok minoritas tetap terjadi, dan konflik horizontal masih berulang, kita patut bertanya: apakah nilai-nilai Pancasila benar-benar telah diinternalisasi? Atau jangan-jangan kita hanya menciptakan ilusi persatuan tanpa membangun keadilan sosial yang nyata? Moderasi beragama seharusnya tidak berhenti pada seruan toleransi, tetapi menuntut keberanian untuk memperjuangkan keadilan bagi semua umat beragama agar persatuan tidak sekadar retorika.

Kritik tajam juga perlu diarahkan pada kurikulum pendidikan agama yang terlalu normatif dan minim ruang dialog. Selama pendidikan masih menanamkan kecurigaan terhadap “yang berbeda” dan hanya menekankan kebenaran kelompok sendiri, moderasi beragama akan sulit tumbuh di tingkat akar rumput. Peran tokoh agama pun penting, bukan hanya sebagai penyampai doktrin, tetapi sebagai fasilitator dialog lintas iman yang membebaskan. Moderasi tidak boleh dipahami sebagai upaya menipiskan keyakinan, melainkan cara untuk merawat perbedaan tanpa menindas pihak lain.

Akhirnya, keberhasilan moderasi beragama dan penerapan nilai Pancasila tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah. Ini adalah tanggung jawab kolektif: negara, tokoh agama, akademisi, dan masyarakat sipil harus terlibat dalam transformasi sosial yang nyata. Jika tidak, moderasi beragama hanya akan menjadi proyek birokratis yang kehilangan makna. Pertanyaannya kini, apakah kita siap mengubah moderasi beragama dari sekadar jargon menjadi gerakan kultural yang memperjuangkan kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan?

Kasus diskriminasi pembangunan rumah ibadah menjadi contoh nyata bagaimana moderasi beragama seringkali berhenti di tataran wacana. Masih banyak laporan penolakan izin pendirian gereja, vihara, atau masjid di wilayah tertentu dengan alasan administratif yang kerap bias dan dipolitisasi. Padahal, konstitusi menjamin kebebasan beragama dan beribadah bagi setiap warga negara. Fenomena ini memperlihatkan paradoks: negara menyerukan moderasi beragama, namun pada saat yang sama gagal melindungi hak-hak kelompok minoritas untuk menjalankan ibadahnya secara layak. Jika moderasi beragama hanya digunakan untuk “menenangkan” mayoritas dan menghindari konflik, tanpa menegakkan keadilan bagi yang terdiskriminasi, maka ia kehilangan esensi moralnya. Moderasi yang sejati justru harus berani menantang status quo, memastikan rumah ibadah bukan menjadi simbol perpecahan, tetapi pusat perjumpaan spiritual yang inklusif bagi semua umat.

Apakah kita benar-benar siap menerima bahwa setiap warga negara berhak memiliki dan membangun rumah ibadahnya, bahkan jika berbeda keyakinan dengan mayoritas di sekitar kita? Apakah masih pantas menggunakan alasan “ketertiban masyarakat” untuk menolak pendirian rumah ibadah, padahal konstitusi menjamin kebebasan beragama? Apakah kita berani mengakui bahwa sebagian besar intoleransi justru lahir dari ketakutan dan stereotip yang kita warisi sejak lama, bukan dari ajaran agama itu sendiri? Mengapa kita lebih mudah marah ketika simbol agama kita dihina, tetapi diam saat kelompok lain didiskriminasi? Apakah moderasi beragama seharusnya mengajarkan kita untuk kompromi terhadap ketidakadilan, atau justru menggerakkan kita memperjuangkan hak-hak semua orang? Bagaimana jika toleransi yang kita banggakan selama ini sebenarnya hanya toleransi semu—selama minoritas tetap “diam” dan tidak menuntut haknya? Apakah Pancasila masih kita jalankan sebagai etika bersama, atau hanya kita jadikan tameng saat kita merasa diserang? Apakah kita berani membayangkan Indonesia di mana perbedaan agama, budaya, dan ideologi bukan sekadar ditoleransi, tetapi dirayakan sebagai sumber kekuatan nasional?

Friday, September 12, 2025

Ketika Agama Membeku: Seruan Mun’im Sirry untuk Berpikir Bebas

Agama sejatinya hadir sebagai cahaya yang membebaskan, bukan belenggu yang membatasi. Namun dalam sejarah panjang peradaban, agama kerap direduksi menjadi sekadar kumpulan doktrin kaku, ritual yang beku, atau simbol-simbol yang kehilangan ruh. Inilah yang dikritisi oleh Mun’im Sirry dalam gagasannya Think Outside The Box—sebuah ajakan berani untuk membebaskan agama dari penjara konservatisme.

Berpikir di luar kotak berarti membuka ruang refleksi kritis, tanpa harus meruntuhkan fondasi iman. Konservatisme sering kali memenjarakan agama dalam tafsir tunggal, menutup kemungkinan dialog dengan zaman, dan mengabaikan kompleksitas realitas sosial. Mun’im Sirry mengingatkan bahwa agama harus terus hidup, tumbuh, dan berdialog dengan konteks. Iman yang sehat tidak anti-kritik, justru menguat ketika diuji oleh pertanyaan-pertanyaan segar.

Pendekatan ini bukan sekadar upaya intelektual, tetapi gerakan spiritual untuk memurnikan agama dari belenggu ideologisasi yang sempit. Kita diajak melihat agama bukan hanya sebagai warisan masa lalu, tetapi sebagai energi transformatif yang mampu memberi jawaban atas persoalan kemanusiaan modern.

Membebaskan agama dari penjara konservatisme bukan berarti menolak tradisi, melainkan menyelamatkannya dari kebekuan. Ini adalah panggilan untuk terus menggali makna, menantang kemapanan berpikir, dan membiarkan agama kembali pada fungsinya yang hakiki, menjadi jalan pembebasan, pencerahan, dan rahmat bagi semesta.

Bagaimana menurut Anda, apakah agama di sekitar kita masih mampu memberi jawaban atas persoalan zaman, atau justru terjebak dalam formalitas? Tinggalkan pendapat Anda di kolom komentar, mari bersama-sama belajar berpikir di luar kotak, agar agama kembali menjadi sumber inspirasi, bukan sekadar aturan tanpa jiwa.

Wednesday, December 9, 2020

Pandangan Aksin Wijaya Terhadap Dominasi Nalar Arab Dalam Teks Keagamaan

Menalar autentisitas wahyu Tuhan, sejatinya bukan untuk mengundang polemik di tengah-tengah masyarakat muslim, namun lebih kepada menampakkan sebuah model kegelisah baru seperti yang dituangkan Aksin Wijaya dalam buku karyanya yang sangat fenomenal. Aksan Wijaya ingin melontarkan gagasan-gagasan yang mempermasalahkan Mushaf Utsmani yang oleh sebagian besar pengkaji Al-Qur'an justru tidak lagi menjadi sebuah masalah. Beberapa pemikir kontemporer, seperti Amin al-Khuli, Fazlur Rahman, Abdul Karim Soroush, Hassan Hanafi, dan beberapa tokoh pemikir lainnya telah menawarkan sekian banyak metodologi serta serangkaian pemikiran kritis lainnya tentang Al-Qur'an, justru tidak menemukan kritikannya terhadap Mushaf Usmani sebagai korpus yang pantas digugat dan dipersoalkan, walaupun sebenarnya mereka bisa saja mempertanyakan proses kodifikasi yang terjadi di masa Usman bin Affan.

Ada satu hal yang menarik untuk dikemukakan pada artikel kali ini adalah terkait perdebatan seputar ke-qadim-an wahyu Tuhan. Istilah tentang qadim mestinya tidak digeneralisasi pada semua sesuatu yang berhubungan dengan wahyu Tuhan, sebab wahyu Tuhan menurut Aksan Wijaya telah mengalami distorsi hebat. 

Wahyu Tuhan yang telah dijanjikan terpelihara oleh Tuhan, kini tidak lagi bersama kita, ia berada di haribaan-Nya. Wahyu Tuhan yang kekal dan abadi maksudnya adalah bahwa yang berada di haribaan Tuhan, bukan yang berada di tangan manusia saat ini.

Wahyu Tuhan yang telah dibawa oleh Muhammad Saw. kepada masyarakat Islam pada fase awal di negeri gurun pasir itu yang masih dalam tahap wacana lisan yang disebut dengan Al-Qur'an, kini telah tereduksi dan mengalami penjara di language Arab dan teks mushaf ustmani. Ia telah menjadi teks tulisan, yang sempurna lahir di era khalifah Usman bin Affan. apatah lagi setelah munculnya teknologi percetakan yang dapat mengabadikan wacana lisan ke dalam sebuah teks tulisan. Sebagai teks tulisan, di mana cara memahaminya tidak lagi bergantung pada kehadiran subjek penutur sebagaimana wacana lisan, maka tidak lagi hadir bersama subjek yang membawanyya dan mengucapkannya, melainkan hadir bersama teks tulisan di atas kertas. lalu masihkan Mushaf Ustmani, yang selama ini dirancukan dengan al-Qur'an dan wahyu dikatakan qadim, hadir sejak dahulu kala sebelum kehadiran manusia di muka bumi ini.

Umat Islam meyakini bahwa wahyu Tuhan bersifat suci dan sakral, karena ia bagian dari diri Tuhan, sedangkan yang dimaksud dengan wahyu Tuhan di dunia ini ditujukan pada Mushaf Ustmani. dan tentu pada gilirannya Mushaf Ustmani dianggap dan dinilai suci. Ini jelas sebuah reduksi yang mengagumkan yang tidak terdeteksi secara epistemologis, sehingga tak satupun orang yang tidak percaya bahwa apa yang ada di tangan kita saat ini sebagai sesuatu yang suci, lebih-lebih di sampul luar kitab tersebut terdapat ayat yang mendukung  kesuciannya sebagai wahyu Tuhan, sebuah potongan ayat bertuliskan "la yammassahu illal muththahharun" (QS. Al-Waqiah: 79). dan akibatnya semua orang menghormati Mushaf Ustmani sebagaimana  layaknya menghormati wahyu Tuhan.

Penyamaan Mushaf Ustmani dengan wahyu Tuhan seperti yang telah disampaikan di atas menjadi sebuah labelisasi suci yang dogmatis. Jika wahyu Tuhan diyakini sebagai yang suci, maka yang suci bukan maknanya, tetapi juga lafazd yang menjadi wadahnya. Oleh karena Mushaf Ustmani diyakin sebagai sebagai perwujudan wahyu Tuhan yang suci, demikian pula unsur-unsur yang berhubungan dengan Mushaf. Bagi seorang yang ingin Mushaf, di persyaratkan harus memiliki wudhu sebagai anda kesucian, baik suci dari hadis kecil maupun hadis besar, maupun suci dari zat dirinya sebagai seorang muslim. Membaca Mushaf, sekalipun tidak mengetahui maknanya, diyakini akan mendapat pahala dari Tuhan, yaitu pahala dari penghargaannya terhadap lafadz mushaf yang suci, sebagaimana membaca al-Qur'an. Karena itu, tradisi bacaan dengan sura merdu semarak di mana-mana, khususnya bagi kalangan awam yang tidak dapat memahami bahasa tulisan.

Keyakinan terhadap lafadz Mushaf  Ustmani sebagai sesuatu yang suci pada gilirannya mempengaruhi keyakinan bahwa bahasa Arab yang digunakan oleh Mushaf Ustmani sebagai yang suci. Kesucian bahasa Arab bukan saja terletak pada bahasa Arab Mushaf Ustmani, tetapi juga bahasa Arab masyarakat Arab pada umumnya, baik dalam bentuk bahasa tulisan, puisi, karya ilmiah dan lain sebagainya. Hingga kemudian bahasa Arab dijadikan sebagai pelajaran khusus dalam lembaga pendidikan keagamaan, yang pada akhirnya kian menambah kesakralan bahasa Arab.

Ada satu narasi yang tersirat dibalik karya Aksin Wijaya bahwa jika sekiranya pesan Tuhan dapat lepas dari jeratan itu, maka diperlukan sebuah analisis yang bercorak filosofis-dekonstrukif. kita mencoba mendialogkan pesan Tuhan dengan cara yang bebas, lepas dari bayang-bayang budaya Arab klasik dan selanjutnya kita menggali pesan Tuhan dari mushaf ustmani, dimana pesan Tuhan terpenjara di dalamnya. Dialog bebas penting karena Mushaf Ustmani ini bukan lagi murni wahyu Tuhan sebagaimana yang dijanjikan akan dijaga, melainkan perangkap budaya Arab yang jika kita tidak kritis, tentu kita juga akan terperangkap dalam penjara yang sama. Selamat Membaca dan Salam Literasi

Sumber Bacaan:

Aksin Wijaya, Menalar Autentisitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender, (Cet. I) Yogyakarta: IRCiSoD, 2020 (ISBN 978-623-6699-17-1)

Wednesday, September 23, 2020

Pengantar PRA, RRA dan Pengelolaan Program Kegiatan Bersama Masyarakat


Salah satu fungsi paling pokok seorang pengorganisir, baik yang memang berasal dari masyarakat setempat ataupun berasal dari luar, adalah memfasilitasi rakyat yang diorganisir dengan baik.

Masyarakat harus senantiasa terus menerus diajak berpikir dan menganalisis secara kritis keadaan dan masalah mereka sendiri. Hanya dengan demikian mereka akan mampu memiliki wawasan baru, kepekaan dan kesadaran memungkinkan mereka memiliki keinginan untuk bertindak, melakukan sesuatu untuk merubah keadaan yang mereka alami. Tindakan mereka itu kemudian dinilai, direnungkan kembali, dikaji-ulang untuk memperoleh wawasan baru lagi, pelajaran berharga yang akan menjaga arah tindakan-tindakan mereka berikutnya.

Mengorganisir masyarakat adalah bukan pekerjaan mudah apalagi peneliti pemula, ada banyak hal yang perlu dipersiapkan serta langkah yang harus dikuasai, seperti bagaimana mempersiapkan masyarakat sendiri untuk menjadi pelaku utama dalam aksi tersebut dan tanpa terkesan bahwa mereka digurui. Masyarakat harus senantiasa dilibatkan dalam setiap hal dari sejak tahapan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan tindak-lanjut suatu aksi. Merekalah yang akan menentukan aksi serta tujuan-tujuan yang ingin mereka capai.

Lalu peran peneliti luar atau pengorganisir masyarakat dalam seluruh proses rangkaian aksi tersebut, apa? Tak  lebih adalah hanya sebagai fasilitator yang membantu masyarakat menemukan cita-cita dan harapannya secara sistematis termasuk menyediakan informasi penting yang mereka butuhkan dari luar.

Mengorgansir masyarakat, tentunya memiliki tujuan untuk mencapai perubahan sosial yang lebih baik, lebih besar dan lebih luas. Namun, masih cukup banyak pengorgansir masyarakat yang sering kesulitan merumuskan apa yang mereka perjuangkan dalam jangka panjang. Sehingga menurut Agus Afandi sebagai instruktur dalam kegiatan Shortcourse Pengabdian Kepada Masyarakat Dirjen Pendidikan Islam Tahun 2020 bahwa pengelolaan program atau kegiatan bersama masyarakat harus melalui tahapan-tahapan terstruktur, mulai dari identifikasi masalah, perencanaan atau desain program, pelaksanaan dan pemantauan. Oleh karena itu harapan beliau kepada peserta pelatihan bahwa dalam mempersiapkan program kegiatan bersama masyarakat tidak asal-asalan, melainkan melalui persiapan yang terencana dan matang dalam program tersebut.

Dalam Pelatihan tersebut, Instruktur banyak memberikan simulasi, dimulai dari temuan problem yang sudah dirumuskan pada praktek dan simulasi Partisipatory Rural Appraisal (PRA) Dan Rapid Rural Appraisal (RRA). Pada dasarnya prinsip-prinsip PRA dan RRA adalah memutar kembali proses belajar masyarakat, memperbaiki kesalahan-kesalahan, triangulasi, menemukan keragamaan, mengutamakan fasilitas proses, membangun kesadaran kritis masyarakat dan tanggung jawab serta siap berbagi bersama dalam mewujudkan transformasi sosial yang lebih baik.

Selain itu, instruktur juga berbagi tentang bagaimana proses pengorganisasian yang baik, yaitu : mulai dari rakyat itu sendiri, masyarakat diajak berpikir kritis, melakukan analisis kearah pemahaman bersama, capai pengetahuan, kesadaran, perilaku baru, lakukan tindakan atau aksi serta evaluasi tindakan itu.

Proses pengorganisasian memerlukana tahapan-tahapan seperti berikut: memulai pendekatan, memfasilitasi proses, merancang strategi, mengerahkan tindakan, menata organisasi, membangun sistem pendukung.

Dalam keseluruhan proses atau langkah perumusan strategis tersebut, peserta pelatihan tetap jangan lupa bahwa dia harus membuatnya semudah mungkin dipahami oleh masyarakat.

Oleh : Nurdin, S.Fil.I., M.Fil.I (IAI As'adiyah Sengkang)



Sunday, September 6, 2020

AKAL, SARANA ATAU SUMBER? MENELAAH PERAN AKAL DALAM PRINSIP BERAGAMA

Kita sebagai manusia telah bermukim di bumi ini. Kita telah menikmati hidup di dalam kehidupan ini. Kita telah hidup di dalam masyarakat. Tetapi pernahkah kita mencari tahu siapa sesungguhnya "aku" kita? apakah kita pernah mencari tahu siapa yang mengadakan kita? yang telah memberikan kehidupan kepada kita dengan berbagai fasilitas yang ada dan begitu lengkap. 

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini sebenarnya sudah ada dalam diri setiap manusia, siapapun orangnya, sebagai manusia tentu harus mengerti dan tahu hakikat kemanusiaannya. Dengan itu kita akan diberikan pilihan berjalan dengan fitrah kemanusiaan kita atau kita akan berjalan berlawanan arah dengan fitrah kemanusiaan. 

Berjalan dengan fitrah kemanusiaan sesungguhnya akan mengantarkan kita sampai kepada tujuan kita yang sesungguhnya. Manusia senantiasa mencari sesuatu yang sempurna dalam hidupnya. Pencarian yang sempurna tentu melalui sebuah proses yang panjang dan melelahkan. Pada mulanya manusia mencari yang diinginkan itu pada hal-hal yang bersifat materi atau kebendaan, berupa harta, uang, kecantikan fisik yang pada intinya adalah kemewahan dunia. Untuk hal-hal yang sifatnya materi tentu panca indera merupakan alat utama untuk mendapatkannya. Capaian yang kita raih akan terasa ketidakpuasan karena segala yang bersifat materi-jasmaniah pastilah mengalami perubahan dan akhirnya musnah. Logika mengajarkan kepada kita bahwa yang ditangkap oleh indera seringkali melahirkan tipuan, bahkan tidak sesuai dengan kenyataannya. Sebuah Fatamorgana yang kita saksikan di siang hari, dari kejauhan kita melihat ada air, namun hakikatnya bukan air yang kita lihat melainkan hanya fatamorgana. Ini adalah sebuah gambaran sederhana bahwa betapa tidak sepatutnya kita percaya terhadap segala sesuatu yang empirik sebagai sebuah kebenaran yang hakiki.

Berangkat dari sini kita butuh sebuah pegangan kuat agar kita tidak termasuk orang yang merugi. Untuk mencari yang sempurna, tampaknya akal amat perlu dikedepankan. Bagi manusia, akal merupakan penuntun untuk mengetahui kebenaran. Al-qur'an sangat mengapresiasi betapa terpujinya mereka yang mampu menggunakan akalnya dengan baik. Bahkan, mereka yang tidak memfungsikan akalnya dengan baik mereka diberikan predikat binatang bahkan lebih rendah dari binatang. 

QS. Al-A'raf : 179

وَلَقَدۡ ذَرَأۡنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِۖ لَهُمۡ قُلُوبٞ لَّا يَفۡقَهُونَ بِهَا وَلَهُمۡ أَعۡيُنٞ لَّا يُبۡصِرُونَ بِهَا وَلَهُمۡ ءَاذَانٞ لَّا يَسۡمَعُونَ بِهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَٱلۡأَنۡعَٰمِ 

بَلۡ هُمۡ أَضَلُّۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡغَٰفِلُونَ  

Terjemahnya:

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.

Binatang sebenarnya meski tidak berakal masih memberi manfaat, yakni bisa dipakai membajak, dagingnya dapat di makan dan harganya bermanfatt sementara manusia yang tidak memfungsikan akal sehatnya justru tidak memberi sumbangan apa-apa bagi kemanusiaan.

Penting bagi kita agar memfungsikan akal dengan baik, diasah dan dilatih agar dapat mengenal Sang Pencipta-Nya. Bahkan dalam literatur filsafat Islam mengakui bahwa akal dapat digunakan untuk membuktikan eksistensi atau adanya Tuhan. 

Satu hal yang perlu menjadi perhatian dalam pembahasan ini adalah kategorisasi akal sebagai daya/sarana dan sebagai sumber. Adakalanya daya akal digunakan untuk memahami Al-Qur'an dan Sunnah, serta dianggap sebagai sarana mengenali ajaran-ajaran wahyu. Namun, tak jarang daya akal itu didudukkan di bangku pengadilan dan dipersepsi sebagai sumber khas untuk memproduksi hukum syariat.

Yang umumnya dipandang sebelah mata, bahkan dilecehkan posisinya, adalah akal sebagai sumber; bukan sebagai sarana pengetahuan. Karena, setidaknya dikalangan pemikir Islam, tak seorang pun yang berbeda pendapat tentang urgensi  akal dalam memahami Al-Qur'an dan Sunnah. Kendati menurut sebagian tokoh Kristen, Posisi semacam ini juga disangkal akal. Mereka yakin, demi meraih iman, pemahaman dan pemikiran harus ditepikan.

Mungkin diantara kita ada yang bertanya apakah akal itu? tidak seorang pun mengetahui hakikat akal. Kita tidak dapat mengetahui hakikat mutiara berharga ini. Kita hanya mampu mengetahuinya melalui efek-efek yang ditimbulkan, bisa juga melalui fungsinya. Pada umumnya para filosof mendefinisikan akal berdasarkan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh akal. 

Syaikh Syihabuddin Suhrawardi Al-Maqtul menjelaskan bahwa yang pertama diciptakan Allah adalah mutiara cemerlang yang dinamai Akal. Mutiara ini dilekatkan padanya tiga sifat. yaitu : pertama, kemampuan untuk mengenal Allah. Kedua, diberikan kepadanya kemampuan untuk mengenal dirinya, dan Ketiga, Kemampuan untuk mengetahui apa yang belum ada dan kemudian ada. Dan dari kemampuan mengenal Allah muncullah keindahan. Dari kemampuan mengenal dirinya muncullah cinta. Serta kemampuan mengenal apa yang belum ada kemudian ada timbullah kesedihan. Dan dari ketiganya ini adalah bersumber dari satu realitas.

Akal merupakan pelita pemahaman dan penyimpulan. Tanpa bantuan cahayanya, memahami Al-Qur'an dan Sunnah menjadi sukar, bahkan bisa mustahil. Akal meyakinkan manusia sebuah nuktah, bahwa penciptaan dan keberadaannya tidak sia-sia; dia didatangkan ke dunia dalam rangka menempuh jenjang kesempurnaan mutlak dan meraih keselamatan abadi. Akal juga mampu memahamkan bahwa untuk tujuan itu, manusia harus mengerjakan apapun yang di ridhoi Allah dan menghindari yang dibenci-Nya. Namun, akal akan berhenti lemah sampai batas menyingkap rincian dan seluk-beluk parsial jalan keselamatan itu; batas yang tak sanggup di lampauinya. Hanya dengan arahan wahyu, manusia bisa mengetahui rincian seluk beluk perjalanannya dan cara menempuhnya. Tanpa petunjuk wahyu, akal bukan lagi mitra manusia yang sepatutnya menerangkan aneka hubungan tutur dan prilakunya di dunia ini dengan pengaruh dan dampaknya di akhirat sana.

Lalu peran akal apa? Akal sebagai tolok ukur, akal mengafirmasi kebenaran agama, akal membuktikan prinsip-prinsip keimanan, akal melindungi Agama dari penyimpangan, Akal sebagai kunci dan pelita untuk membedakan yang baik dan yang buruk.

Sumber Bacaan:

  1. Hasan Yusufian & Ahmad Husain Sharifi, Akal & Wahyu; Tentang Rasionalitas Dalam Ilmu, Agama dan Filsafat, (Cet.1; Jakarta: Sadra Press, 2011)
  2. Muh. Ridwan Z. Menemukan Yang Dicari; Sebuah Perdebatan dari Logika hingga Filsafat, TT
  3. Nurdin, Orisinalitas Akal dan Metafisika Al-Qur'an (Menangkap Makna-Makna Tauhid), Skripsi .
Oleh:
Nurdin