Friday, May 29, 2020

KEGELISAHAN KAUM INTELEKTUAL MUSLIM TERHADAP KETERTINGGALAN UMAT ISLAM DALAM BIDANG ILMU PENGETAHUAN

Umat Islam pernah menorehkan kegemilangan peradaban yang sangat luar biasa sekitar abad ke VII sampai dengan abad ke XIII Masehi, bahkan beberapa abad setelahnya pengaruh itu masih sangat terasa kuat di Eropa. Pada abad-abad yang dikenal sebagai the golden age of Islam" ini, kaum muslim menjadi mercusuar peradaban dunia dan pelopor kecemerlangan ilmu pengetahuan. Peradaban muslim menjadi rujukan dari umat-umat lain. Bahasa Arab menjadi bahasa International dalam bidang keilmuan, yang harus dikuasai oleh mereka yang hendak mendalami bidang yang satu ini.

Pada masa kejayaannya, dunia Islam dikenal dengan para ilmuannya yang menguasai beragam disiplin keilmuan, misalnya bidang teologi, sastra, sejarah, kedokteran, matematika, astronomi, filsafat dan lain-lain. Tak dipungkiri bahwa kemajuan dibidang ilmu pengetahuan yang dicapai oleh umat Islam selama berabad-abad tersebut diperoleh melalui ikhtiar yang kuat dengan motivasi yang didorong oleh agama. Namun setelah beberapa abad berada dipuncak peradaban dunia, umat Islam memasuki fase kemunduran. Nasib tragis menimpa umat yang pernah memimpin peradaban ini. Mereka mengalami kehinaan dan ketertindasan dalam penjajahan. Kemiskinan dan kebodohan menjadi sesuatu yang melekat padanya. Nurcholis Madjid mengilustrasikannya dengan sebuah pernyataan: "Dewasa ini dunia Islam praktis merupakan kawasan bumi yang paling terbelakang diantara penganut agama-agama besar. Negeri-negeri Islam jauh tertinggal  dari Eropa Utara, Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru yang Protestan, Eropa Selatan, Amerika Selatan yang Katolik Romawi, Eropa Timur yang Katolik Ortodoks, Israel yang Yahudi, India yang Hindu, China (giant dragon), Korea Selatan, Taiwan, Hingkong dan Singapura yang (litle dragon) yang Buddhist-Confusianis, Jepang yang Bhudis Taois dan Thailand yang Budhist. Praktis tidak satupun agama besar di muka bumi ini yang lebih rendah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya daripada Islam. Dengan perkataan lain, diantara semua penganut agama besar di dunia ini, para pemeluk Islam adalah yang paling rendah dan lemah dalam hal sains dan teknologi.

Kemajuan yang telah dicapai oleh Barat dewasa ini, sebenarnya mempunyai kaitan dengan yang erat dengan perkembangan  peradaban Islam baik ketika Islam mencapai kemajuan di Eropa ataupun  puncak kemajuan yang dicapai dunia Islam di Baghdad. Bangsa Barat banyak berhutang budi kepada para ilmuan muslim yang telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kelemahan dan kemunduran dunia Islam dimanfaatkan oleh bangsa-bangsa Barat untuk bangkit dan bergerak menuju ke arah negara-negara Islam untuk menguasai dan menjajahnya. Motivasi mereka menjajah dunia Islam adalah faktor ekonomi, politik dan agama. Hal ini terlihat dari cara mereka melakukan interaksi dengan dunia Islam pada awal-awal kedatangannya. Mereka datang dengan dalih untuk berdagang dan mencari rempah-rempah di timur. Akhirnya mereka terangsang oleh keuntungan besar dan ambis yang kuat, sehingga muncullah keinginan untuk menguasai semua sistem ekonomi dan politik negara-negara Islam yang dikuasainya.

Pada saat yang sama, dunia Islam terus dilanda pergolakan dan kemorosotan di berbagai bidang, sehingga negara-negara Islam tidak mampu bersaing dengan Barat yang didukung oleh kekuatan militer yang tangguh. Saat itulah dunia Islam berada dalam kekuasaan penjajah Barat.
Sebagai akibat dari perang yang berkepanjangan, susunan masyarakat Islam menjadi terganggun yang pada akhirnya melemah. Sebab segala daya dan kekuatan yang dimiliki terkuras habis untuk mempertahankan kekuasaan umat Islam. Semua itu membutuhkan kekuatan dan stabilitas ekonomi. Jika ekonomi terus dipergunakan untuk kepentingan peperangan, maka stabilitas ekonomi akan terganggu. Jika perekonomian terganggu, maka kehidupan masyarakat tidak akan menentu. Artinya bahwa stabilitas politik sangat menentukan bagi stabilitas dalam bidang-bidang lainnya, seperti sosial, ekonomi dan juga peradaban umat.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, benturan-benturan antara Islam dan kekuatan Eropa telah menyadarkan umat Islam bahwa mereka memang jauh tertinggal dari Eropa. Hal ini dirasakan dan disadari pertama kali oleh Turki, karena kerajaan inilah yang pertama dan utama dalam usaha menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk belajar dari Eropa.

Di tengah  dominasi peradaban Barat, kesadaran akan ketertinggalan umat menyeruak dalam diri para intelektual muslim. Lemahnya penguasaan pada ilmu pengetahuan adalah kunci dari ketertinggalan ini. Para pemikir seperti Muhammad Abduh, Seyyed Hossein Nasr, Fazlur Rahman, Ismail al-Faruqi, Muhammad Naquib al-Attas adalah diantara mereka yang prihatin sekaligus punya semangat membara dalam upaya mencari solusi ketertinggal umat Islam di bidang yang satu ini.

Bagaimanakah para pemikir muslim memberikan respon terhadap wacana kebangkitan Islam dan dominasi ilmu pengetahuan Barat? sebagai bagian dari ikhtiar merebut kembali supremasi ilmu pengetahuan, ada banyak varian pemikir muslim yang berbicara tentang hal ini, namun secara umum berdasarkan orientasi pemikirannya, dapat dikelompokkan pada empat kelompok besar: (ini yang berada di dalam wacana kebangkitan Islam).

Pertama, Kecenderungan terhadap peradaban dan Barat
Gelombang pertama kebangkitan Islam modernis berawal dari Thahtawi di Mesir dan Khairuddin Pasya Tunisi di Tunisia. Keduanya mendasarkan pemikirannya pada poros bahwa Muslimin tidak memiliki jalan lain untuk maju kecuali dengan mencapai pengetahuan Eropa.

Kelompok ini tidak berpikir tentang kemungkinan pertentangan antara Islam dan peradaban Eropa. Sebab mereka percaya bahwa pada dasarnya peradaban Eropa terilhami oleh Islam dan sains Eropa adalah terjemahan sains Islam yang terdahulu. Sains barat adalah sains Islam. Oleh karena itu, tujuan mereka adalah untuk menentukan tolok ukur  yang berguna untuk mengambil peradaban dari Eropa. Masih manurut mereka, hanya lembaga-lembaga non-religius yang perlu untuk diberdayakan.

Kedua, Kecenderungan terhadap peradaban dan Islam
Pada dasarnya, kelompok ini penyeru kebangkitan Islam yang memiliki kecenderungan peradaban dan Islam. Tokoh yang menonjol di kelompok ini adalah Sayyid Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, dengan perbedaan bahwa Sayyid Jamaluddin Al-Afghani lebih dekat dengan generasi pertama sementara Muhammad Abduh lebih mirip dengan generasi tradisionalis setelahnya.

Reformasi yang dikumandangkan oleh Jamaluddin Al-Afghani adalah Tajaddud (Pembaharuan; modernisasi). Ia berharap dapat mengenalkan dunia Islam dan kaum muslimin dengan masa modern, keistimewaannya dan faktor-faktor penyebabnya. Dapat menciptakan kondisi dimana kaum Muslimin dapat berpartisipasi di peradaban dunia baru ini dan dapat memperkuat diri berlandaskan elemen-elemennya yaitu, sains, rasionalitas dan yang lain seperti lembaga politik yang demokratis. yang Ia dorong adalah bukan kepedulian identitas melainkan mengupayakan penguatan terhadap dunia Islam. yang membedakan Jamaluddin al-Afghani dengan kelompok pertama adalah terletak pada postulat prinsipal: Pertama, peran agama dalam kehidupan bangsa-bangsa yang tak dapat dielakkan. Kedua, kebutuhan terhadap lembaga-lembaga modern dan keahlian teknis untuk menjawab kebutuhan kehidupan baru. 

Secara global, poros pemikiran kelompok ini menekankan rasionalitas dan sains sebagai prinsip, kemampuan Islam dalam membangun peradaban, peningkatan kekuatan Muslimin, kebersamaan dan persatuan di dasarkan Islam, perlawanan terhadap hegemoni Eropa.

Ketiga, Kecenderungan terhadap Islamisme dan tradisional
Kecenderungan Islamisme tradisional dan pemikir unggulannya Rasyid Ridha yang sekaligus penerus pemikiran Salafiah, melihat kebangkitan Islam pada semangat untuk merujuk ke sistem dan tradisi para pembesar Islam. Kegagalan negara-negara Islam dalam mengikuti pemikiran generasi sebelumnya yang menyerukan penyerapan terhadap pencapaian saintifik dan politik peradaban modern dan makin terperosoknya mereka ke dalam  jurang kemunduran, telah mewariskan kekhawatiran yang lebih mendalam pada diri para tradisionalis Muslim terhadap ancaman barat dan hilangnya identitas keislaman. Islamisme tradisional adalah jawaban terhadap kegelisahan tersebut.

Haraer Dakmejian menelaah Sayyid Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridah adalah satu rumpun. Padahal itu jelas keliru. Pemikiran Islamisme tradisional menjauh dari tajaddud (pembaharuan) dan lebih dekat dengan konservatisme. Para pembaharu berupaya mereformasi dan menerapkan Islam dengan tuntutan zaman, sementara kaum konservatisme sangat memegang teguh tradisi Islam dan bereaksi keras terhadap infiltrasi budaya dan ancaman politik barat.

Keempat, Kecenderungan terhadap fundamentalisme Islam.
Jacque Berque mengatakan dalam sebuah analisa tentang fundamentalisme Islam, bahwa kegagalan negara-negara Islam dalam menyodorkan model yang sesuai dengan zaman  modern pada abad ke XX adalah penyebab ekstrimisme mereka. ia meyakini bahwa sebab internal terpenting adalah berhentinya ijtihad dan penumpasan gerakan-gerakan reformis dengan slogan melawan bid'ah.

Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin berpendapat demikian tentang para pembaharu: "Al-Afghani hanya sebuah teriakan peringatan untuk penyelesaian masalah, Muhammad Abduh hanya seorang guru dan filsuf sementara Rasyid Ridha hanyalaha sejarawan dan reporter, Sementara Ikhwanil Muslimin berarti Jihad, usaha dan karya dan bukan hanya pesan.

Ikhwanul Muslimin adalah sebuah gerakan sosio-politik religius yang mencari perubahan mendasar dalam masyarakat Muslim. Salah satu keyakinan dasar Ikhawanul Muslimin adalah kekuatan Islam yang tak dapat diungguli dalam menyelesaikan masalah sosio-politik masyarakat muslim, yang mana hal itu adalah esensi dari fundamentalisme Islam.

Sehingga pemikir seperti Imam Khomeini dan Sayyid Qutb, mengakui bahwa Islam juga agama juga negara. Nilai dan model prilaku barat tidak dapat dikomporomikan dengan nilai-nilai Islam yang paripurna.

Perlu dikemukakan disini bahwa sesungguhnya kegelisahan yang menyeruak di batin para intelektual yang kemudian dikumandangkan dalam gerakan-gerakan yang disebut "ghirah", sebuah semangat untuk kembali bangkit, untuk itu perlu ada kesadaran yang massif atas ketertinggalan umat Islam dan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan sebagai upaya untuk meraih kembali kejayaan Islam. Ini kiranya menjadi modal dasar yang sangat bagus bagi umat dalam upaya membangun kembali supremasi ilmu pengetahuan yang menjadi indikator kemajuan sebuah bangsa dan peradaban.

Sumber Bacaan:
  1. Abidin, M. Z. (2006). Islam dan Ilmu Pengetahuan Dalam Diskursus Muslim Kontemporer. Ulumuna10(2), 391-410.
  2. Ali Velayati, (2006). Pasang Surut Peradaban Islam. Jurnal al-Huda, vol. III (12),59-96.
  3. Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam : Imperium Turki Usmani, (Jakarta : Kalam
    Mulia, 1988) 
  4. Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam,  (Jakarta: Paramadina, 1997)
  5. Nurdin, N. (2014). Invasi Politik dan Militer Dunia Barat Ke Dunia Islam Abad ke  XVII dan XIX. Makalah.
Oleh :
NURDIN ZAINAL

No comments:

Post a Comment