Thursday, June 18, 2020

RISALAH (3) AHLUSSUNNAH WALJAMAAH MENURUT KH. SYUKRON MA'MUN

Sumber Gambar : Klik DISINI
Alhamdulillah robbil alamin, kami bisa kembali lagi menulis setelah harus menyelesaikan beberapa kegiatan yang hampir bersamaan. Nah, pada artikel kali ini, kita akan melanjutkan kajian tentang risalah ahlussunnah wal jamaah menurut pandangan KH. Syukron Ma'mun. 

Tentu telah kita pahami bahwa Ahlusunnah wal-Jamaah merupakan golongan  mayoritas di dalam dunia Islam. Menurut KH. Syukron Ma'mun bahwa salah satu golongan yang lebih mengutamakan dalil naqli (Al-Qur'an dan Hadis) dari pada dalil Aqli (akal). Dalam ilmu Kalam, Ahlussunnah wal Jamaah terbagi ke dalam 3 kelompok atau golongan:

Golongan Ahli Atsar ( مذهب أهل الأثر )

Golongan ini merupakan pengikuti Al-Imam Ahmad Ibnu Hanbal, Beliau lahir pada tahun 164 H. dan wafat pada  tahun 248 H. Beliau terkenal sebagai pembela sunnah Rasulullah Saw. berpegang teguh kepada apa yang dikerjakan pada sahabat dan para tabiin. Beliau tidak mengakui pendapat yang timbul setelah zaman sahabat dan tabiin. 

Beliau sempat dipenjara pada zaman khalifah Abbasiyah karena mempertahankan sunnah, ketttika beliau di tanya oleh khalifah, Al-Qur'an itu Qodim apa hadis (baru)? Beliau menjawab Al-Qur'an adalah Kalamullah Qodim, karena jawaban beliau bertentangan dengan pendapat penguasa, maka beliau terpaksa menjalani hukuman penjara. Madzhab penguasa ketika itu adalah madzhab mu'tazilah.

Ulama golongan ini dalam membahas ilmu kalam hanya berpegang teguh kepada dalil naqli (Al-Qur' dan Sunnah), hanya kadang memakai dalil akal.

Mereka tidak berani berfatwa kecuali yang mereka dapatkan dari Al-Qur'an dan Hadis. Mereka tidak berani pula menafsirkan ayat-ayat al-muthasyabihat dan tidak menjelaskan pula, bahkan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah, bahkan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. karena mereka merasa khawati takut keliru apabila menafirkannya. Sebagai contoh, di dalam Al-Qur'an sebagai berikut :

QS. Al-Fath : 10
إِنَّ ٱلَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ ٱللَّهَ يَدُ ٱللَّهِ فَوۡقَ أَيۡدِيهِمۡۚ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَىٰ نَفۡسِهِۦۖ وَمَنۡ أَوۡفَىٰ بِمَا عَٰهَدَ عَلَيۡهُ ٱللَّهَ فَسَيُؤۡتِيهِ أَجۡرًا عَظِيمٗا 
Terjemahnya : Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.

Ayat yang di bold tersebut di atas, mereka mengartikan tangan Allah di atas tangan mereka, mereka tidak berani menjelaskan dan menafsirkan kata tangan dalam ayat tersebut. Sementara ulama yang lain menafsirkan bahwa maksud kata tangan dalam ayat tersebut adalah persetujuan/kesepakatan.

QS. Ar-Rahman : 27
وَيَبۡقَىٰ وَجۡهُ رَبِّكَ ذُو ٱلۡجَلَٰلِ وَٱلۡإِكۡرَامِ
Terjemahnya : Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. 
Golongan ahlul atsar mengartikan ayat tersebut di atas "Wajhu Rabbik" yaitu wajah Allah yang mempunyai keagungan dan kemuliaan. Mereka tidak berani menjelaskan  apa yang dimaksud dengan kata wajah (muka) mereka menyerahkan kepada Allah, sedangkan ulama mutaakhirin menafsirkan wajah adalah zat atau diri Allah (والله أعلم)

Sehingga diantara mereka yang ekstrim hanya mengikuti makna lahirnya ( ظاهر اللفظ ) golongan ini disebut Al-Mujassimah. Mereka mempunyai keyakinan sebagaimana tekstualnya Al-Qur'an, Allah mempunyai tangan, bagaimana tangan Allah yang dimaksud dalam Al-Qur'an, serahkan saja kepada Allah bukan hak kita untuk menjelaskan. Tidak ada sesuatu yang menyerupai Allah ( ليس كمثله شئ )

Mempertanyakan tentang bagaimana wajah Allah atau tangan Allah adalah suatu hal yang bid'ah, yang penting Allah mempunyai tangan, wajah yang tidak seperti tangan dan wajah kita sebagai manusia. masalahnya diserahkan kepada Allah. Dari pengikut Ahlil Atsar ini lahirlah seorang Imam yang bernama Muhammad bin Abd Wahhab di Nejad pada Tahun 1703 M. yang dianggap sebagai seorang pembaharu atau mujaddid yang kemudian belakangan dikenal dengan kelompok Wahabiyah.

Golongan Al-Asyaairoh ( مذهب الأشاعرة )

Golongan yang kedua ini merupakan pengikut Imam Abul Hasan Al-Asyari yang dilahirkan di Bashrah pada tahun 260 H dan wafat pada tahun 324 H. awal abad ke IV Hijriyah. Beliau belajar kepada ulama Mu'tazilah diantaranya Imam Muhammad bin abdul Wahab Al-Jabal. Pada masa itu Mu'tazilah merupakan mazhab Pemerintah Khalifah Abbasiyah, sebagai pendukung  utamanya khalifah al-Ma'mun bin Harun Ar-Rasyid, Khalifah Al-Mu'sashim dan Khalifah al-Wa Asiq bil Allah.

Al-Imam Abul Hasan Al-Asy-ari merupakan pengikut setia dan penganjur kuat mazhab Mu'tazilah. Setelah beliau banyak melihat kekeliruan dalam mazhab Mu'tazilah, beliau menyatakan dengan tegas keluar dari mazhab Mu'tazilah di depan khalayak ramai dan bergabung kepada mazhab Ahlus Sunnah Wal-Jamaah. Beliau secara terang-terangan menantang dan menolak paham Mu'tazilah dengan dalil-dalil yang tegas. Mazhab Al-Asyaairah ini terkenal di Iraq pada awal abad ke IV H.

Mereka telah memperluas pembahasan ilmu kalam dan dalam menetapkan pembahasannya berdasarkan dalil-dalil akal dengan mengutamakan dalil-dalil naqli (Al'Quran dan Hadis) dan tidak terlalu mendalami ayat-ayat al-Mutasyabihat. Pendapat Imam Abul Hasan Al-Asy'ari mendapat dukungan kuat dari ulama-ulama di seluruh dunia, sehingga kitab-kitab karangan beliau tetap menjadi maraaji' mazhab Ahlussunnah Wal-Jamaah di seluruh  dunia sampai saat ini.


Golongan Al-Maturidiyah ( مذهب الماتريدية )

Golongan selanjutnya adalah Al-Maturidiyah, pengikuti Imam Abu Mansur Al-Maturidi, golongan ini pertama kali muncul di negeri Khurasani bersamaan munculnya golongan Asyaairah di Iraq.

Corak pemikiran antara golongan Al-Asyaairoh dengan Al-Maturidiyah tidak ada perbedaan pokok, perbedaannya. kalaupun ada perbedaan tidak sampai pada persoalan yang prinsip. Abu Mansur Al-Maturidiyah merupakan pembela Ahlussunnah Wal-Jamaah dari pertentangan dengan golongan Mu'tazilah. Kedua golongan ini hidup semasa dan mempunyai tujuan yang  sama yaitu membendung dan melawan golongan Mu'tazilah. Al-Asyaairah yang berkembang di Bashrah dan Iraq berupaya menentang perkembangan Mu'tazilah. dan Al-Maturidiyah menghadapi Mu'tazilah di negerinya yaitu Samarkand dan Iran pada umumnya.

Pengikuti Maturidiyah telah memberanikan diri untuk mencoba menafsirkan ayat-ayat yang mutasyabihat seperti firman Allah dalam QS. Thoha : 5
ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
Terjemahnya: (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy. 
Arsy bukan berarti tahta atau singgasana, tetapi Arsy merupakan kebesaran dan keagungan Allah Swt.

Ketiga mazhab inilah yang diakui sebagai mazhab dalam golongan Ahlussunnah Wal-Jamaah yang merepresentasikan Islam jalan tengah di dalam Ilmu Kalam.

Sumber Bacaan:
KH. Syukron Ma'mun, Risalah Pemantapan Ahlissunnah Wal-Jamaah, (Tanpa Penerbit; Jakarta, 1988)

Sunday, June 14, 2020

RISALAH (2) AHLUSSUNNAH WALJAMAAH MENURUT KH. SYUKRON MA'MUN

Sumber Gambar
Pada artikel kali ini kami akan menarasikan hasil pemikiran KH. Syukron Ma'mun tentang sejarah Mazhab Ahlus Sunnah wal-Jamaah. Mungkin selama ini masih banyak saudara kita yang belum paham dan mengerti tentang Ahlus Sunnah Wal-Jamaah. Menurut beliau bahwa sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlus-Sunnah wal-Jamaah hanya merupakan kelangsungan yang telah dilakukan sejak zaman Rasulullah Saw dan Khulafaurrasyidin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya Mazhab Mu'tazilah pada abad ke 11 Hijriyah.

Seorang ulama besar bernama "Al-Imam Hasan Basri" dari golongan At-Tabi'in di Bashrah mempunyai sebuah majelis ta'lim (mejelis ilmu), tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat pada tahun 110 Hijriyah. Diantara murid beliau yang bernama Washil bin Atha adalah salah seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa Arab. Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dan murid. Muridnya bertanya tentang "posisi seorang mukmin yang melakukan dosa besar, apakah dia masih tetap mu'min atau tidak?"

Menurut Imam Hasan Basri bahwa yang demikian itu adalah dia masih tetap mukmin selama dia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi dia fasik dengan perbuatan maksiatnya. Keterangan ini berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. Imam Hasan Basri mempergunakan dalil akal tetapi beliau lebih mengutamakan dalil Al-Qur'an dan Hadis.
QS. An-Nisa: 48
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا 
Terjemahnya:Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. 
HR. Bukhari dan Muslim
عن ابي ذَرٍّ رضِيَ اللَّه عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّه صَلَّي اللَّه عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَتَانِى آتٍ مِنْ رَبِّى فَاَخْبَرَنِى اَنَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ اُمَّتِى لاَيُشْرِكُ بِا للَّهِ دَخَلَ الجَنَّةَ. قُلْتُ : وَاِنْ زَنَى وَاِنْ سَرَقَ, قَالَ وَاِنْ زَنَى وَاِنْ سَرَقَ.  
Artinya:Dari Abi Dzar ra. berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: “Datang kepadaku pesuruh Allah menyampaikan kepadamu: Barang siapa yang mati dari ummatku sedang ia tidak mempersekutukan Allah maka ia akan masuk surge, lalu saya (Abi Dzar) berkata: walaupun ia pernah berzina dan mencuri? Berkata (Rasul): meskipun ia telah berzina dan mencuri. 

HR. Bukhari (Juz IV. hal 221)
فَيَقُوْلُ وَعِزَّتِى وجَلاَلِ وَكِبْرِ ياَئِى وَعَظَمَتِى لأُخْرِجَنَّ مِنْهَا مَنْ قَالَ لاَاِلَهَ الاَّاللّه 
Artinya:Allah berfirman: Demi kegagahan dan kebesaranku dan demi ketinggian serta keagungangku, benar dan aku keluarkan dari neraka orang yang mengucapkan; Tiada Tuhan selain Allah”. 


Tetapi menurut muridnya, Washil bin Atha' orang mu'min yang melakukan dosa besar sudah bukan mukmin lagi, dia berpegangang pada akalnya. Bagaimana seorang mukmin melakukan dosa besar? berarti iman yang ada padanya iman dusta, mustahil orang yang menyatakan beriman kepada Allah, kemudian melawan Allah.

Kemudian murid tadi dikucilkan oleh gurunya ke pojok masjid dipisah dari jamaahnya, dan disebut Mu'tazilah, artinya orang yang diasingkan. Dan bergabung bersama Washil bin Atha kawannya  yang bernama Amrun bin Ubaid dan keduanya memproklamirkan kelompoknya yang disebut Mu'tazilah. Cara berpikir beliau juga dipengaruhi oleh ilmu dan filsafat Yunani. Sehingga mereka terlalu berani menafsirkan Al-Qur'an menurut akalnya, dan terpecahlah menjadi golongan-golongan yang tidak terhitung karena tiap-tiap mereka mempunyai pandangan sendiri-sendiri. Malah diantara mereka yang terlalu ekstrim, berani menolak Al-Qur'an atau Sunnah apabila bertentangan dengan akal mereka. Semenjak itulah maka para ulama mengutamakan dalil Al-Qur'an dan Hadis dari dalil akal mulai memasyarakat cara dan sistem mereka di dalam memahami agama, Kelompok inilah yang kemudian dikenal dengan "Ahlussunnah Wal-Jamaah".

Sumber Bacaan:
KH. Syukron Ma'mun, Risalah Pemantapan Ahlissunnah Wal-Jamaah, (Tanpa Penerbit; Jakarta, 1988)


Wednesday, June 10, 2020

RISALAH (1) AHLUSSUNNAH WALJAMAAH MENURUT KH. SYUKRON MA'MUN

Sumber Gambar : Tebuireng Online
Dengan timbulnya berbagai macam aliran dalam Islam sehingga banyak membawa keragu-raguan bahkan menjurus kepada keresahan umat. sehingga menarik di kesempatan kali ini kita mencoba mengurai salah satu pemikiran KH. Syukron Ma'mun terkait dengan pemahaman kita terhadap aliran Ahlussunnah Wal-Jama'ah. 

Dan insya Allah pada tulisan ini yang terkait dengan Ahlussunnah Wal-Jamaah kita akan bagi ke dalam beberapa risalah, agar kajian tentang ini bisa kita tuntaskan dengan baik.

Ahlussunnah Wal-Jamaah adalah golongan terbesar umat Islam yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid dan fiqhi dengan mengutamakan dalil Al-Qur'an dan Hadis dari dalil akal. Sebagaimana sunnah Rasulullah SAW dan sunnah Khulafaurrasyidin r.a. 

KH. Syukron Ma'mun menyampaikan bahwa kita tidak punya hak untuk mendefinisikan Ahlussunnah Wal-Jamaah karena menurutnya Ahlussunnah Wal-Jamaah bukan miliki NU, tetapi ia adalah universal milik mayoritas umat Islam di dunia, kita hanya mengikuti pengakuan yang telah diakui oleh mayoritas Islam yang mengaku dirinya Ahlussunnah. Oleh sebab itu apa yang dinyatakan oleh hadratus syaikh KH. Hasyim Asyari: "Nahdhatul Ulama beraqidah Ahlussunnah Wal-jamaah berhaluan salah satu dari mazhab  yang empat; Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali, merupakan definisi yang diakui dunia Islam. Kalau ada orang beraqidah selain di atas sebaiknya keluar dari NU atau tidak mengaku NU.

Nah, untuk itu kita mencoba memberikan gambaran siapakah sesungguhnya golongan Ahlussunnah Wal-Jamaah? Untuk menguatkan hal tersebut kami sampaikan beberapa hadis.
 عَنْ أَنَسٍ:  اِنَّ اُمَّتِىْ لَاتَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ فَاِذَا رَاَيْتُمْ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الأَعظَمِ
Artinya: "Dari Anas: Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, maka apabila kamu melihat perbedaan pendapat maka kamu ikuti golongan yang terbanyak. (Faidhul Qadir Juz II. Hal. 431)
فَاءِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِىْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا  عَلَيْهَا باِلنَّوَاجِذْ
Artinya: "Sesungguhnya barangsiapa yang hidup diantara kamu setelah wafatku maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka hendaknya kamu berpegangan dengan sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapat hidayah, peganglah sunnahku dan sunnah khulafurrasyidin dengan kuat dan gigitlah dengan geraham. (Sunan Abi Daud Juz IV. hal. 201)
اِنّّ بَنِىْ اِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيِنَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتَى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلاَّةً كُلُّهُمْ فِى النَّارالاَّ ملَّةً وَاحِدَةً قاَلُوا وَمَنْ هِىَ يَارَسُول الله قال مَااَنَا عَلَيْه واَصْحَابِى
Artinya: "Sesungguhnya Bani Israil pecah menjadi 72 golongan dan ummatku akan pecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan, mereka bertanya; siapakah yang satu golongan itu ya Rasulullah? Rasulullah menjawab; mereka itu yang bersama aku dan sahabat-sahabatku. (Sunan Tirmidzi juz. V, hal. 26)
Semoga nantinya pada tulisan ini memberikan manfaat bagi kita semua untuk memahami konsep teologi dari Ahlussunnah Wal-Jamaah. [bersambung]

Sumber Bacaan:
KH. Syukron Ma'mun, Risalah Pemantapan Ahlissunnah Wal-Jamaah, (Tanpa Penerbit; Jakarta, 1988)

Sunday, June 7, 2020

BERPIKIR; MENEMUKAN IDE KREATIF

Doktrinasi pada pikiran bahwa menjadi seorang pemikir sangat menakutkan masih sering terjadi, padahal mempelajari metode berpikir tidaklah rumit.

Bagaimana akal menemukan sebuah ide? bagaimana merasakan kepingan ide baru dan informasi yang datang? Bagaimana merasakan pikiran anda sedang bekerja, saat meniru, memfokuskan persoalan, menganalisa, mengingat kembali, melakukan perbandingan dan sebagainya?

Dengan akalnya, manusia mampu menemukan sebuah teori baru dan mengolahnya, menciptakan peradabannya sendiri, memajukan teknologi, menemukan fakta-fakta ilmiah dan berbagai penemuan-penemuan lainnya. Betapa hebat dan menakjubkannya akal manusia yang mampu melakukan semua itu.

Akal merupakan potensi terbesar yang Allah berikan kepada manusia untuk berpikir dan menganalisa yang benar dan salah. Menurut Al-Ghazali, akal memiliki 3 pengertian:
  1. Akal dapat berarti potensi yang membedakan manusia dari binatang dan menjadikan manusia mampu menerima berbagai pengetahuan teoretis.
  2. Akal juga berarti pengetahuan yang dicerna oleh seorang anak yang telah mendekati usia dewasa, misalnya ia dapat mengetahui bahwa tidak mungkin ada sesuatu yang berada pada satu tempat dan pada saat yang sama ia pun berada pada tempat lain, atau dua itu lebih banyak dari satu.
  3. Makna ketiga yang diberikan oleh Imam Al-Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengalaman yang dilaluinya dan yang pada pada gilirannya memperhalus budinya.
Secara umum, dapat dipahami bahwa sesungguhnya akal adalah alat yang dugunakan untuk berpikir, sedangkan berpikir adalah prosesnya.

Sementara Sidi Gazalba, bahwa berpikir itu mengandung tiga ciri:
  1. Radikal, berarti akar. Berpikir radikal adalah berpikir sampai ke akar-akarnya, tidak tanggung-tanggung, sampai kepada konsekuensinya yang terakhir.  Berpikir dengan gaya yang seperti ini menurutnya, tidak ada yang tabu, tidak ada yang final, tidak yang terlarang untuk dipikirkan.
  2. Sistematis, berpikir logis, gaya berpikirnya selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran dengan urutan yang bertanggung jawab dan saling berhubungan dan teratur.
  3. Universal, cara berpikirnya yang umum, tidak khusus apalagi terbatas pada bagian-bagian tertentu tetapi mencakup secara keseluruhan. Contoh: berpikir tentang manusia tidak hanya mengenai manusia Indonesia saja, atau Afrika saja. melainkan manusia sebagai makhluk.
Dengan landasan berpikir ini, manusia tidak akan mengetahui sesuatu tanpa adanya kontradiksi internal dalam ide sehingga lahirlah pengetahuan baru. Bagaimana bentuk pengetahuan manusia, maka dibutuhkan epistemologi untuk menerangkan pengetahuannya tersebut. epistemologi hanya berusaha menjelaskan realitas sebagaimana yang ia pahami sendiri. Untuk menolak dan menerima argumennya dibutuhkan suatu alat ukur penilaian, apakah epistemologi benar atau salah. Disini dibutuhkan lagi epistemologi untuk menilaianya yang harus berujung pada adana epistemologi yang idak membututhkan lagi epistemologi untuk menilaianya dan ittu hanya bisa terjadi ketika sudah ditemukan sesuatu yang sangat nyata kebenarannya dan tidak membutuhkan lagi neraca untuk menilainya.

Dengan akal manusia dapat berkembang menjadi lebih baik, walaupun dengan akal juga manusia bisa menjadi rendah bahkan hina dari kodratnya. Manusia dapat beradaptasi dengan lingkungan pun karena memiliki akal. Namun tidak semua manusia menyadari ini, tidak semua akal manusia mampu menjangkau ini. apa yang membedakan? Ilmulah yang membedakan manusia dalam menggunakan akalnya. Seberapa dalam manusia menyalami samudera ilmu pengetahuan ini disebut daya intelektual.

Gunakan sebaik mungkin anugerah akal yang diberikan Allah dan bagilah hal positif yang mampu dihasilkan. karena sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi sesama dan bagi alam sekitarnya.

Sumber Bacaan:
  1. Fuad Al-Mahdali, Siap Jadi Pemikir? Menjadi pemikir hebat dengan metode  berpikir, dan penemuan ide besar, (Cet.I; Makassar: Pena Indis, 2015)
  2. Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat; Pengantar Kepada Dunia Filsafat, (Cet.6; Jakarta: Bulan Bintang, 1992)
  3. JBagas, Sebuah Perenungan: Ide dan Pola Pikir Manusia

Saturday, June 6, 2020

TANGGUNG JAWAB ULAMA ISLAM

Diantara kita pernah menyaksikan betapa banyak air memancar dari mata air yang bersih dan jernih? Namun, ketika sudah mengalir ke selokan dan sungai, perlahan-lahan air itu menjadi tercemar dan kotor. Kadang-kadang, pencemaran yang terjadi padanya dapat dilihat  oleh mata dan juga terkadang tidak.

Pencemaran yang tampak oleh mata bisa terjadi manakala tanah dan lumpur bercampur ke dalamnya. Kadang-kadang, air itu melewati suatu tempat yang disitu ada sekelompok hewan dan kemudian bercampur dengan kotoran hewan. Dengan demikian, warna air itupun akhirnya berubah. Pencemaran yang terjadi padanya mungkin juga tidak bisa dideteksi oleh mata telanjang. Sewaktu anda melihat dan memeriksanya, air itu tampak bersih dan seolah-olah sama sekali tidak berbeda dari air yang masih ada dimata air. Namun, ketika salah seorang penduduk mandi menyelam ke dalam sungai tersebut, ia pun terkena penyakit menular. Padahal ia tidak melihat sesuatu apapun dalam air. Sebenarnya, di dalam air itu, ada kuman-kuman sangat kecil yang tidak dapat di lihat oleh mata telanjang, kecuali bila ia manusia menggunakan mikroskop. Kuman-kuman inilah yang menyebabkan air menjadi tercemar. Untuk membuat air sungai itu steril, mungkin diperlukan alat khusus.

Hal serupa juga terdapat dalam urusan-urusan spritual. Dengan kata lain, semula mata air spritual itu bersih dan suci dari segala bentuk kotoran dan pencemaran. Namun, karena bersentuhan dengan berbagai corak pemikiran lain, maka mata air ini akhirnya secara perlahan-lahan menjadi tercemar. Atau, pencemaran ini terjadi karena sering  berpindah tangan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pencemaran dan kerusakan ini bisa berupa sesuatu yang tampak oleh mata telanjang dan juga bisa berupa sesuatu yang sama sekali tidak terlihat oleh mata  kecuali para ahli spesialis yang membidangi masalah ini. Ini disebabkan mereka memiliki alat yang bisa melihat dan mendiagnosa pencemaran itu. Upaya untuk mensterilkan air yang sudah tercemar ini bisa dilakukan dengan alat tertentu. begitu juga halnya dengan hal-hal yang berkaitan dengan berbagai masalah spritual.

Menurut Imam Khomeini, sudah saatnya para ulama, para ustadz lebih banyak memperhatikan aspek-aspek spritualitas, sebaliknya para pelajar juga agar giat untuk menempa diri supaya bisa menciptakan karakter (malakah) yang kuat bagi dirinya menjadi orang yang selalu rajin mensucikan diri dan ini adalah tugas yang sangat penting bagi mereka.

Sesungguhnya anda memiliki tanggung jawab yang sangat besar untuk mewujudkan masyarakat yang amanah dan taat terhadap ajaran agama Islam. Satu hal yang perlu direnungkan bahwa jika sekiranya seorang ulama, ustadz, guru dan dosen atau siapan anda yang memiliki posisi penting di mata masyarakat awam melakukan sedikit saja kesalahan atau kekhilafan. Mereka tidak hanya melihatnya sebagai satu kasus individual saja tapi ia melihatnya sebagai wakil dari keulamaan. Orang-orang itu tidak akan mencoba menganalisis perilaku menyimpang dari para ulama atau mencoba menjustifikasi atau mencoba menfasirkan dengan tafsiran-tafsiran  pembelaan terhadap si alim. Jika tukang sayur atau penjual minyak wangi melakukan kesalahan atau perbuatan tidak pantas, mereka akan melihat itu hanyalah sebagai kasus partikular saja, namun jika yang melakukannya adalah ulama dengan serta-merta dituduh semua ulama melakukan hal yang tidak pantas.

Tugas sebagai ulama dan santri sangatlah tidak ringan. beberapa hadis yang dinukil di bawah ini, semoga menjadi informasi dan sedikit menggugah perihal tugas-tugas utama para ulama, sebagai berikut:
"Rasulullah Saw bersabda, Ada dua golongan dari umat jika keduanya baik maka umatku akan menjadi baik dan jika keduanya buruk maka umatnya juga akan menjadi buruk. Kedua golongan itu adalah ulama dan penguasa." 
"Rasulullah Saw bersabda, "Kaum Hawariyun berkata kepada Isa as. Wahai Ruhullah!, Dengan siapa kami ini harus bergaul? Isa as berkata, Dengan orang yang akan mengingatkanmu kepada Allah, membuatmu antusias melakukan amal baik dan menambah ilmu kalian." 
"Dari Abu Abdillah, dia berkata, "Rasulullah Saw bersabda, para fukaha adalah putra-putra Rasul selama mereka tidak mencintai dunia. Rasulullah Saw ditanya, apa yang menyebabkan  mereka menyukai dunia? Jawab Rasul, (Karena mereka) mendekati kekuasaan. Rasulullah Saw menegaskan, jika mereka melakukan demikian, waspadailah agama mereka!"(Al-Kafi Jus I, hal. 46)"
"Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Karramallah Wajhah, berkata, Apa yang diperhitungkan Allah terhadap para ulama adalah agar mereka tidak melayani kedzaliman kaum dzalim dan tidak membawa kesulitan kepada kaum yang di dzalimi. (Nahjul Balaghah, Khutbah Syiqsyiqiyyah) "
Seorang ulama yang kharismatik dan alim adalah mereka yang memiliki tanggung jawab terhadap kemaslahatan umat dan kehadirannya ditengah umat cukup mendorong orang untuk mengingat kepada Allah. 

Sehingga sangat menyedihkan jika ada seorang ulama melakukan perbuatan nista dan selalu membebaskan imajinasi-imajinasi kemaksiatan akan menjadi racun berbahaya bagi umatnya. Saat orang awam melakukan tindakan nista tidak banyak membawa dampak sosial yang besar, ini berbeda secara diametrikal dengan perbuatan yang tidak pantas dari seorang ustadz atau ulama. Karena seorang ustadz atau ulama yang fasik akan menyeret umat pada jurang kerusakan. Jadi, jika ustadz atau ulama rusak maka masyarakat juga akan rusak. Semoga kita semua terhindari dari perbuatan-perbuatan nista dan buruk.

Sumber Bacaan:
  1. Murthada Mutahhari, Islam dan Tantangan Zaman, (Cet.I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1996)
  2. Imam Khomeini, Manajemen Nafsu, diterj. Salman Fadhullah, (Cet. I; Jakarta: Al-Huda, 2010)
Oleh:
NURDIN ZAINAL
nurdinzainal@gmail.com

Friday, June 5, 2020

MAKNA HAJI

Haji adalah evolusi manusia menuju Allah. Ibadah Haji sesungguhnya merekonsturksi perjalanan Ibrahim as. Ibrahim bukan hanya saja bapak Tauhid, yang ditugaskan untuk membersihkan rumah Tuhan dari kemusyrikan. Ibrahim adalah model dari seorang manusia  yang memilih untuk berangkat menuju Tuhan.

Dalam pemahaman Ali Syariati, Haji merupakan kepulangan manusia kepada Allah Swt yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan dan yang tidak dipadankan oleh sesuatu apapun. Kepulangan kepada Allah merupakan gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, dan nilai.

Dengan melakukan perjalanan menuju keabadian ini, tujuan manusia bukanlah untuk binasa, tetapi untuk berkembang. Allah bertanya, فَأَيۡنَ تَذۡهَبُونَ "Mau pergi ke mana kamu?" (QS. At-Takwir. Ia menjawab, وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَىٰ رَبِّي سَيَهۡدِينِ "dan Ibrahim berkata: Aku pergi berangkat menuju Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku". Tujuan ini bukan untuk Allah, tetapi untuk mendekatkan  diri kita kepada-Nya. Makna-makna tersebut dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non ritualnnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, nyata atau simbolik.

Apa yang telah dilakukan oleh nabi Ibrahim as. tentu menjadi contoh bagi kita semua, kita meninggalkan keluarga dan kampung halaman kita untuk menuju Rumah Tuhan, Baitullah. Bayangkan, ketika Tuhan memanggil kita, فَفِرُّوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۖ إِنِّي لَكُم مِّنۡهُ نَذِيرٞ مُّبِينٞ "maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu (QS. Al-Dzariyat: 50) Sebagai hamba yang taat akan menjawab "aku datang memenuhi panggilan-Mu, Tidak ada sekutu bagi-Mu, segala puji dan anugerah kepunyaan-Mu.

Tujuan kita bukanlah untuk memenuhi hasrat keduniawian kita, tujuan kita bukan untuk mencari kehormatan di depan ka'bah dan setelah kembali kemasyarakat kita akan dipandang memiliki kelas dan strata sosial yang tinggi. Sesungguhnya bukan itu tujuan Haji. Tetapi untuk mendekatkan diri kita kepada-Nya. Allah tidak jauh dari kita; oleh karena itu kita harus berusaha untuk menghampiri-Nya. Sesungguhnya Allah lebih dekat dengan kita daripada kita dengan diri kita sendiri.

Wahai manusia, ingatkah kita pada saat seluruh malaikat bersujud kepada Adam (manusia). Mereka tunduk dan hormat kepada manusia karena kehormatan dan janji kita untuk tunduk bersujud kepada-Nya. kita berjanji bahwa kita tidak menyembah sesuatu kecuali kepada Allah Yang Maha Besar. Dan menolak untuk menghamba kepada berhala-berhala yang sebagiannya adalah kreatifitas manusia. 

Tinggalkan seluruh sifat kebinatangan kita agar kita tidak termasuk seperti orang-orang yang telah disaksikan oleh Al-Zuhri dan gurunya Imam Ali Zainal Abidin di padang Arafah. apa yang Al-Zuhri dan Imam Ali Zainal Abidin saksikan di sana? "Gemuruh orang-orang yang sedang bertalbiyah namun pada hakikatnya yang disaksikan hanyalah kerumunan binatang, monyet, babi dan srigala. Mengapa mereka menyerupai binatang? Mereka telah melanggar sumpah setia mereka sebagai hamba yang taat. Babi-babi itu itu adalah jamaah yang tidak dapat mengendalikan syahwatnya. Mereka menuju rumah Allah namun tidak dapat meninggalkan sifat kebinatangannya.

Mereka berubah menjadi serigala, sesugguhnya adalah ia tidak sedang berzikir dan bertalbiyah, mereka hanya melolong melengking. Mereka senang mempergunjingkan orang lain, memaki dan menghardik serta menyerang kehormatan orang lain. Mereka berangkat Haji dengan raganya namun jiwa dan batinnya dipenuhi dengan keburukan budi pekerti. Terakhir, monyet-monyet itu adalah jamaah yang masih merasa bahwa dirinyalah yang paling benar, ketika bertemu dengan orang-orang yang berasal dari mazhab lain , ia mencemoohkan dan menganggap sebagai orang yang sesat dan kafir. Bahkan ia senang memprotes, membantah dan selalu menganggap pendapatnyalah yang paling benar. Dalam majelis ilmu, dialah yang paling pintar dan paling sholeh.

Jadi sesungguhnya orang yang ber-Haji dengan gaya yang seperti ini, batal. Secara ruhaniah ia tidak termasuk jamaah Haji. Ia hanyalah kerumunan binatang. Semoga kita di lindungi Allah atas segala kekhilafan dan dosa-dosa.  

Sumber Bacaan:
  1. Dwiki Setiyawan, Makna Hakiki Ibadah Haji Menurut Ali Syariati, Kompasiana
  2. Ali Shariati, Haji, di terj. oleh: A. Noe'man, (Cet. VI; Bandung: Pustaka, 2005)
  3. Jalaluddin Rakhmat, Hakikat Ibadah Haji (document).
Oleh:
NURDIN ZAINAL

Thursday, June 4, 2020

KRITIK AL-GHAZALI TERHADAP FILOSOF SEBELUMNYA


Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali yang lebih dikenal Imam al-Ghazali, ketika ia masih kecil, beliau dan saudaranya diserahkan kepada ahli tasawuf yang kelak mendidiknya. Di Durjan, al-Ghazali mempelajari ilmu fiqhi dan bahasa Arab. Dari sana, al-Ghazali meneruskan perjalanannya ke kota Naisabur, dekat Thus. Di kota ini dia belajar kepada imam Al-Haramain yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan. Disini pulalah dia mulai memperdalam berbagai disiplin ilmu, seperti  logika, ilmu kalam dan ilmu-ilmu lainnya yang dianggap penting. Karena kecerdasannya itulah imam Al-Haramain mengatakan al-Ghazali itu adalah lautan tak bertepi.

Selain dikenal sebagai sosok yang lebih bersimpati terhadap bentuk mistis Islam yang ditemukan  di dalam Tasawuf, al-Ghazali juga menghabiskan lebih banyak waktunya untuk menulis. Karya-karya al-Ghazali-lah yang membuatnya sampai hari ini menjadi sosok yang penting. Di antara seluruh karyanya, yang mempunyai pengaruh paling besar adalah Tahāfut al-Falāsifah (Kerancuan Para Filsuf)

Titik tekan dari buku Tahāfut al-Falāsifah adalah kritik terhadap perkembangan filsafat di masa sebelumnya yang dia anggap tidak memiliki komponen keimanan, yang mana padahal menurut al-Ghazali keimanan adalah elemen terpenting dari agama. Pada akhir buku tersebut, Tahāfut al-Falāsifah, al-Ghazali melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran para filosof.  Secara spesifik, yang dikritik adalah ide-ide Neoplatonis yang terinspirasi dari Plato (filsuf Yunani). Adapun yang dimaksud dengan filosof menurut al-Ghazali adalah Aristoteles dan Plato, juga Al-Farabi dan Ibnu Sina, karena kedua filosof Muslim ini dipandang oleh al-Ghazali paling bertanggung dalam menerima dan menyebarluaskan pemikiran filosofis dari Yunani di dunia Islam.

Tahāfut al-Falāsifah merupakan titik balik dalam sejarah intelektual dunia secara umum dan juga sejarah Islam pada khususnya pada abad pertengahan. Karya tersebut membahas konflik di antara ilmu kalam dan filsafat. Namun, bukan berarti al-Ghazali mengatakan para filosof itu atheis_jauh dari itu, kritik al-Ghazali adalah bahwa seluruh sistem pemikiran filosofis para filosof bergantung pada penegasan keberadaan Tuhan, yang darinya semua eksistensi lainnya terpancar. Tapi, menurut para filosof, para makhluk ciptaan Tuhan ini merupakan konsekuensi dari esensi Ilahi, seolah-olah para makhluk merupakan “kebutuhan” dari kekuasaan Tuhan. Hal itulah yang dikritik oleh al-Ghazali, bahwa sudut pandang filsuf tersebut melihat Tuhan layaknya benda mati.  Berikut ini adalah penjelasan:

Alam Semesta dan Semua Substansinya Qadim
Para filosof Muslim di kala itu mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lul-nya (sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Alasan dari para filosof itu adalah tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan demikian bararti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum ada. Menurut Imam Al-Ghazali bahwa bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai permulaan atau tidak pernah ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadimnya alam membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Tidak diciptakan Tuhan dan ini berarti bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi dan segala isinya. Bagi Imam Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam di samping adanya Tuhan.

Allah Tidak Mengetahui Yang Juz’iyyah (perincian) yang terjadi di Alam
Golongan filosof berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil, kecuali dengan cara yang umum saja. Alasan yang mereka kemukakan sesuatu yang baharu itu dengan segala peristiwanya selalu berubah-ubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti kepada diketahui (objeknya), yakni perubahan perkara yang diketahui, menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu-ilmu ini berubah dari tahu menjadi tidak tahu atau sebaliknya berarti Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan mustahil terjadinya. Menurut Imam Al-Ghazali, argument seperti itu merupaakn kesalah fatal. Perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu, karena ilmu merupakan idhafah (sesuatu rangkaian yang berhubungan dengan zat). Jika ilmu berubah tidak membawa perubahan zat, dengan arti keadaan orang yang memmpunyai ilmu tidak berubah. Untuk memperkuat argumentnya, Imam Al-Ghazali mengemukakan ayat-ayat Al-Qur’an pada surah Al-Hujurat/49: 16
وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ 
Terjemahnya: padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu?" 
Pembangkitan Jasmani Tidak Ada
Menurut para filosof Muslim yang akan dibangkitkan diakhirat nanti adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur. Jadi yang akan merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Imam Al-Ghazali pada dasarnya tidak menolak adanya bermacam-macam kelezatan di akhirat yang lebih tinggi daripada kelezatan di nuia empiris/indrawi. Juga tidak menolak kekekalan roh setelah berpisah dari jasad, semua itu dapat diketahui dari otoritas dari jasad. Akan tetapi dia membantah bahwa akal saja sapat memberikan pengetahuan final dalam masalah metafisika. Dalam menyanggah pendapat para filosof ini, Imam Al-Ghazali lebih banyak bersandar pada arti tekstualitas Al-Qur’an. Tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan. Para filosof Muslim berpendapatbahwa mustahil mengembalikan rohani kepada jasad semual, dengan berpisahnya jasad dengan roh berarti kehidupan telah berakhir dan tubuh tidak bertentangan dengan. Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali kekalnya jiwa setelah mati tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hadis-hadis menyebutkan pula bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan jiwa. Sementara itu, kebangkitan jasmani secara eksplisit telah ditegaskan oleh syara’.

Sumber Bacaan:
  1. Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Cet. IV;Jakarta: Bulan Bintang, 1990) 
  2. Risman Munanto (2014), Karakteristik Pemikiran Kalam Pasca Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Makalah 
  3. Al-Ghazali, Samudera Pemikiran Al-Ghazali, Alih Bahasa Kamran As'ad Irsyady, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002)
Oleh:
NURDIN ZAINAL

Wednesday, June 3, 2020

JIKA HAJI DAN UMRAH DIBATALKAN.....?

Tahun ini Pemerintah Republik Indonesia melalui kementerian Agama meniadakan pelaksanaan ibadah Haji bagi umat Muslim di Indonesia disebabkan oleh Pandemi-19. Keputusan ini tentunya membuat umat Muslim yang mendapatkan kuota ibadah haji tahun ini kecewa. Bahkan sebagian umat Muslim menilai negatif keputusan Kementerian Agama tersebut. Namun yang pasti, bahwa pemerintah telah memutuskan hal tersebut dengan penuh pertimbangan dengan memikirkan setiap sisi kemaslahatan dan sisi kemudharatan jika ibadah haji tetap dilaksanakan tahun ini.

Haji menurut bahasa berarti al-qasdu yang memmpunyai arti maksud, cita-cita dan tujuan. Orang yang berhaji berarti orang yang mempunyai maksud dan tujuan. Haji merupakan rukun Islam yang terakhir, sehingga ada yang mengatakan bahwa ibadah haji merupakan penyempurnaan keislaman seseorang, meskipun hal tersebut tidak diartikan secara tekstual semata. Karena bisa jadi seseorang yang belum melaksanakan haji. Keislamannya jauh lebih kuat dibanding dengan seseorang yang telah melaksanakana ibadah haji. Allah Swt. berfirman dalam QS. Ali Imran/3: 97
...وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ ….  
Terjemahnya: …Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah….

Ulama tafsir telah menjelaskan tentang orang-orang yang mampu melaksanakan ibadah yaitu orang-orang yang memiliki kemampuan fisikal dan material. Karena kemampuan fisik saja tidaklah mungkin melaksanakan ibadah haji tanpa adanya kemampuan materi, begitu pula kemampuan materi saja tidaklah mungkin tanpa adanya kemampuan fisik.

Diantaranya keutamaan ibadah haji, Rasulullah Saw. bersabda di dalam hadisnya:
الحج المبرور ليس له جزاء الا الجنة
Artinya: Haji yang diterima (mabrur) tiada balasannya kecuali syurga.
Adapun tanda-tanda haji Mabrur menurut keterangan Anregurutta antara lain sebagai berikut: Pertama, semakin kuat ibadahnya setelah pulang ke tanah suci. Kedua, semakin baik akhlaknya setelah pulang ke tanah suci, dan Ketiga, lebih mengutamakan urusan dan akhirat setelah pulang ke tanah suci. Jika hal-hal tersebut telah dimiliki oleh seseorang setelah ke tanah suci. Jika hal-hal tersebut telah dimiliki oleh seseorang setelah ke tanah suci maka sesungguhnya haji mereka telah diterima (mabrur). Sebaliknya jika tanda-tanda itu tidak ada dalam diri seseorang yang telah menunaikan ibadah haji maka sesungguhnya haji mereka  belum naik (mardud).

Jika tahun ini, ibadah haji dan umrah dibatalkan, bagaimana mendapatkan pahala yang menyerupai ibadah haji. Sebuah laman facebook menyebutkan :
ان الغى الحج والعمرة هذا العام طوفوا على ابواب الفقراء و المحتاجين

Artinya: Jika dibatalkan haji dan umrah tahun ini, maka berkelilinglah kalian kepada pintu-pintu orang fakir dan orang yang membutuhkan.

Argumen ini merupakan jawaban dan obat kekecewaan bagi umat Muslim yang tahun ini mendapatkan kesempatan menunaikan ibadah haji namun dibatalkan. Kesempatan untuk memperoleh pahala menyerupai ibadah haji masih terbuka lebar. Bukankah terdapat kisah pedagang sepatu yang telah bersusah payah menabung untuk ibadah haji lantas tidak menunaikan haji karena melihat tentangganya yang sangat membutuhkan sehingga seluruh biaya hajinya diberikan kepada tetangganya. Walhasil, ia mendapatkan pahala haji bahkan karena dialah ibadah haji ummat Islam pada waktu itu diterima oleh Allah Swt.

Jika ibadah haji dan umrah tahun dibatalkan jangan kecewa, jangan mencaci maki pemerintah, jangan menyudutkan ulama. Bertawaflah ke tetangga-tetangga untuk melihat siapa yang sangat membutuhkan pertolongan. Karena, mencari orang miskin dan orang yang membutuhkan pertolongan pada waktu sekarang ini sangatlah mudah.

Sumber Bacaan:
  1. Al-Qur'an dan Terjemahnya
  2. Musnad Ahmad bin Hanbal
  3. Republika, Mabrur Tanpa Berhaji
  4. Facebook.com Raudah Hilmi Al-Atfhal
Oleh:
TARMIZI THAHIR
(Pembina Ma'had Aly As'adiyah dan Dosen IAI As'adiyah)

Tuesday, June 2, 2020

PRINSIP DASAR BERTAUHID MENURUT IMAM AL-GHAZALI

Imam Al-Ghazali adalah sosok ulama Islam terkemuka, Ia seorang ahli fiqh juga sufi. Kedalaman ilmunya diakui sepanjang sejarah khasanah intelektual Islam, menurut sebagian peneliti mengklaim bahwa ia hampir sulit menemukan tandingannya. Umat Islam sangat respect terhadap ketinggian dan keutamaan ilmu dan prilakunya. 

Suatu ketika di tahun 1092 M. Imam Al-Ghazali diundang oleh Nidzam al-Mulk untuk menjadi seorang guru besar di Nidzamiyah, Baghdad. Di sini ia menuntaskan studinya tentang teologi, filsafat, ta'limiyah dan tasawuf. dan di tempat ini pula merupakan periode penulisan karya-karyanya paling produktif. Menurut Dr. Abd Rahman Badawi, di dalam bukunya "Mu'allafat al-Ghazali", menyebutkan bahwa karya-karya Imam Al-Ghazali mencapai 457 buah dan berisi kajian mendalam atas beragam tema penting yang sekaligus menandakan kedalaman pengetahuannya di bidang, sufisme, akhlak, teologi, psikologi, filsafat, pendidikan, bahkan tidak ketinggalan persoalan metafisika dan mistik ia dalami.

Imam Al-Ghazali mengajarkan bahwa dalam bertauhid harus mengerti prinsip-prinsip dasarnya:
  1. Transendensi (Tanzih) Dalam membuktikan adanya Tuhan, Imam Al-Ghazali senantiasa memegang pendapat Asy-ariyah, yakni tertumpu pada bukti teologi (kalamiah). Untuk itu ia menyatakan bahwa alam yang rumit penciptaannya dan kokoh aturannya itu pasti bersumber pada sebab yang mengatur dan menata, sedangkan karya-karya yang kokoh menunjukkann ilmu dan hikmah si pencipta. Tuhan adalah Zat Yang Maha Esa tanpa sandingan, Maha Tunggal tanpa padanan, Tempat segala sesuatu bergantung. Dia senantiasa disifati dengan predikat Kebesaran. Dia tidak lekang oleh keparipurnaan dan keterputusan dengan kadaluarsanya zaman dan habisnya waktu. Akan tetapi Dia Maha Awal dan Akhir, Maha Tampak dan Tersamar, dan Dia Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Imam Al-Ghazali meyakini bahwa Allah tidak berfisik dan berbentuk, juga bukan atom yang terbatas dan berkadar. Dia tidak sepadan dengan jisim-jisim dalam takaran, juga dalam hal menerima partisi. Dia bukanlah partikel atom dan tidak juga berposisi sebagai partikel atom. Dia bukan pula aksiden atau berposisi sebagai aksiden. Bahkan Dia tidak sepadan dengan segala eksistensi dan tiada eksistensi yang menyamai-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang menyamainya.
  2. Sifat Mengetahui ('Ilm), Allah mengetahui segala pengetahuan-Nya meliputi segala yang terjadi di bawah kerak bumi dan di atas langit. Tak sebiji atom pun perkara di bumi ini dan di langit lepas dari pengetahuan-Nya, bahkan Dia mengetahui decak latah semut-semut hitam di padang pasir lengang di malam gelap gulita. Dan Dia juga mengetahui gerakan atom di udara bebas dan mengetahu rahasia yang tersembunyi. Dia memantau bisikan-bisikan hati kecil, gerakan-gerakan benak pikir, dan rahasia-rahasia nurani dengan pengetahuan dahulu kala (al-ilm al-Qadim al-Azali) yang senantiasa melekat pada-Nya sejak dahulu kala (Azal al-Azali), bukan dengan pengetahuan baru yang dihasilkan di dalam Zat-Nya lewat hulul (Immanent) dan Intiqal (transformasi).
  3. Sifat Berkehendak (Iradah), Allah Swt. berkehendak atas segala entitas, mengendalikan segala kebaruan. Tidak ada yang berlaku di kerajaan bumi dan di kerajaan langit berupa banyak-sedikit, baik-buruk, besar-kecil, manfaat-mudharat, iman-kafir, untung-rugi, tambah-kurang dan ketaatan-kemaksiatan kecuali dengan Qada', Qadar, Hikmah dan kehendak-Nya. Apa yang Dia kehendaki terjadilah dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi. Segala sesuatu tidak akan keluar dari garis kehendak-Nya sejauh pandangan atau pemikiran sekalipun.
  4. Sifat Hidup (Al-Hayah) dan Berkuasa (al-Qudrah), Allah Maha Hidup lagi Maha Kuasa. Dia tidak memiliki kekurangan dan kelemahan, juga tidak dihinggapi kealpaan dan tidur, dan tidak pula ditimpa kebinasaan dan kematian.
  5. Sifat Wicara (Kalam), Dia Maha Berbicara, Dia memerintah dan melarang, berjanji dan mengancam dengan Kalam-Nya yang Azali. Kalam-Nya tidak menyerupai bicara makhluk-Nya. Suara-Nya tidak muncul dari infiltrasi udara dan getaran suara. Juga tanpa huruf yang terputus-putus dengan menutup bibir atau menggerakkan lidah. Al-Qur'an dan Kitab-Kitab Suci yang lain adalah kitab yang diturunkan-Nya pada Rasul utusan-Nya Al-Qur'an dibaca dengan lisan, ditulis dengan mushaf, dihapal dalam hati. Meskipun begitu Al-Qur'an tetap Qadim yang berdiri dengan Zat Allah. Ia tidak terpisah dengan perpindahannya ke dalam hati dan kertas. Musa as. juga mendengar Kalam Ilahi tanpa suara dan huruf, sebagai mana orang-orang baik kelak melihat-Nya di hari kiamat tanpa substansi dan aksidensi.
  6. Sifat Mendengar (Sam') dan Melihat (Basar), Allah adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Bagi Dia tidak ada perkara yang audible/ masmu' yang dapat didengar yang lepas dari pendendengaran-Nya meski selirih apa pun. Dan Dia tidak menghilang dari pandangan-Nya. Pandangan dan pendengarannya tidak terhalang oleh jarak dan terhambat oleh kelam kepekatan. Sifat-sifat-Nya tidak menyerupai sifat makhluk-Nya, begitupun esensi-Nya tidak sama dengan esensi makhluk.
Semoga Allah Swt. senantiasa memberikan hidayah, keyakinan dan kekokohan dalam beragama.
Wallahu 'A'lam Bisshawab.

Sumber Bacaan:
  1. Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam. Terj. Yudian Wahyudi Asmin, (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 2004)
  2. Risman Munanto (2014), Karakteristik Pemikiran Kalam Pasca Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Makalah
  3. Al-Ghazali, Samudera Pemikiran Al-Ghazali, Alih Bahasa Kamran As'ad Irsyady, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002)
Oleh:
NURDIN ZAINAL