Sunday, May 31, 2020

TRADISI PERKAWINAN BANGSA ARAB PRA ISLAM

Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan yang meresmikan hubungan antara pribadi yang biasanya intim dan seksual. Sedangkan pernikahan sebuah upacara pengikatan janji nikah yang dilakukan oleh dua orang suami dan istri dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara hukum agama, adat dan negara dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, mawaddah wa rahmah.

Dalam Islam, pernikahan merupakan sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah Swt. mengikuti sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan.

Kebutuhan untuk berpasangan ini dalam sejarah peradaban manusia diwujudkan dalam institusi perkawinan. Awal sejarah kehidupan manusia menjadi saksi sejarah terciptanya perkawinan antara Adam dan Hawa, yang menjadi perkawinan pertama dan asal muasal primordial manusia di bumi. Dalam perkembangan selanjutnya, perkawinan menjadi norma  di semua bagian di dunia sebagai sebuah institusi formal untuk merealisasikan kebutuhan manusia untuk berpasangan. Masing-masing daerah, suku, agama dan lain-lain memiiki tradisi dan aturan-aturannya sendiri dalam hal perkawinan. Namun semuanya memiliki kesamaan dengan legitimasinya masing-masing bahwa realisasi kebutuhan seksual manusia tidak dapat dibiarkan secara bebas, tapi harus diatus secara normatif guna menjamin stabilitas sosial seperti yang telah disampaikan di atas.

Seperti halnya dibelahan dunia yang lain, perkawinan merupakan hal yang esensial dalam realitas masyarakat Arab pra-Islam. Hal ini merupakan hal yang wajar mengingat masyarakat Arab pra-Islam juga memiliki consern yang sangat besar dalam hal seksualitas dan realisasinya. Bahkan Khalil Abdul Karim mengatakan bahwa persoalan seksualitas merupakan hal yang dominan dalam kehidupan mereka. Selain secara kesistensialis kebutuhan seks sudah inheren dalam eksistensi manusia, juga dipengaruhi oleh kondisi iklim yang panas dan kondisi kering yang dapat menambah nafsu kedua orang semakin bergejolak dan membara.

Pada artikel kali ini, penulis ingin mengajak para pembaca  kembali melirik sejarah kelam bangsa Arab pra-Islam tentang salah satu tradisi perkawinan yang  bersifat profan dan sakral. Bagaimana mereka memperlakukan pasangannya, Musthafa Sa'id Al-Khinn sebagaimana yang dikutip Jaih Mubarok menyebutkan bahwa bangsa Arab pra-Islam menjadikan adat sebagai hukum dengan berbagai bentuknya. dalam perkawinan mereka mengenal beberapa macam perkawinan, diantaranya:

Pertama, Poliandri, yaitu sebuah perkawinan yang dilakukan oleh beberapa orang laki-laki dengan cara berjimak dengan seorang perempuan. Setelah perempuan hamil dan melahirkan anak, perempuan tersebut memanggil semua laki-laki yang pernah menyetubuhinya untuk berkumpul di rumahnya. Setelah semuanya hadir, perempuan tersebut menyampaikan bahwa ia telah dikarunia seorang anak hasil hubungan mereka, kemudian perempuan tersebut menunjuk salah seorang dari mereka untuk menjadi suami atau bapak dari anak yang telah dilahirkannya dan laki-laki yang ditunjuk tidak boleh menolak.

Kedua, Maqthu, yaitu seorang laki-laki menikahi ibu tirinya setelah bapaknya meninggal dunia. Jika seorang anak ingin mengawini ibu tirinya, dia melemparkan kain kepada ibu tirinya sebagai tanda bahwa ia mengingikannya, sementara ibu tirinya tidak punya kewenangan untuk menolak. Jika anak laki-laki tersebut masih kecil , ibu tiri diharuskan menunggu sampai anak itu dewasa. Setelah dewasa, anak tersebut berhak memilih untuk menjadikannya sebagai istri atau melepaskannya.

Ketiga, Istibdha, Yaitu seorang suami meminta kepada istrinya untuk berjimak dengan laki-laki yang dipandang mulia atau memiliki kelebihan tertentu, seperti keberanian dan kecerdasan. Selama istri bergaul dengan laki-laki tersebut, suami menahan diri dengan tidak berjimak dengan istrinya sebelum terbukti istrinya hamil. Tujuan perkawinan semacam ini adalah agar istrinya melahirkan anak yang memiliki sifat yang dimiliki oleh laki-laki yang menyetubuhinya yang tidak dimiliki oleh suaminya. Sebagai contoh, seorang suami merelakan istrinya berhubungan dengan raja sampai terbukti hamil, agar ia memperoleh anak yang berasal dari darah bangsawan.

Keempat Shigar, yaitu seorang wali menikahkan anak atau saudara perempuannya kepada seorang laki-laki tanpa mahar.

Kelima Badal, yaitu tukar-menukar istri tanpa bercerai terlebih dahulu dengan tujuan untuk memuaskan hubungan seks dan terhindar dari kebosanan.

Anderson menambahkan bahwa di masyarakat Arab pra-Islam tampaknya telah ada berbagai macam corak perkawinan, boleh jadi mulai dari perkawinan patrilineal, dan patrilokal sampai pada perkawinan matrilineal dan matrilokal, termasuk juga yang dikenal dengan perkawinan sementara waktu untuk tujuan bersenang-senang (kawin kontrak).

Menurut Elya Munfarida dalam salah satu jurnalnya bahwa dalam masyarakat patriarki Arab, perkawinan model seperti tersebut di atas adalah sistem kepemilikan (tamalluk). Model kepemilikan ini dapat dilihat implementasinya dari berbagai bentuk perkawinan dalam Arab pra-Islam seperti yang telah disebutkan di atas. Meskipun dalam perkawinan model safah dianggap memberikan kebebasan bagi perempua untuk hubungan seksual dengan beberapa laki-laki dan menentukan siapa yang berhak menjadi suami dan bapak bagi anak-anaknya, namun perkawinan itu berada dalam basis kultur patriarki, sehingga ketika dia sudah masuk dalam pernikahan maka posisinya akan tetap menjadi mab'ul dan milik suami. Dengan model kepemilikin seperti ini, maka perempuan berada pada posisi subordinat dan harus memiliki ketundukan dan ketaatan total terhadap suami. Sebaliknya, laki-laki atau suami memiliki otoritas dominan untuk memperlakukan istrinya sesuai dengan keinginannya.

Sumber Bacaan:
  1. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Cet. 10; Bandung: Pustaka Setia, 2008)
  2. Wibisana, W. (2016). Pernikahan Dalam Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta'lim2016.
  3. Rizki Ati Hulwa, Pernikahan dengan Perkawinan
  4. Khalil Abdul Karim, Relasi Gender Pada Masa Muhammad & Khulafaurrasyidin,  Terj. Khairon Nahdiyyin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
  5. Munfarida, E. (2015). PERKAWINAN MENURUT MASYARAKAT ARAB PRA ISLAM. Yinyang: Jurnal Studi Islam Gender dan Anak10(2).
Oleh:
NURDIN ZAINAL


Saturday, May 30, 2020

STUDI PEMAHAMAN HADIS

Hadis merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an, sama halnya dengan al-Qur’an, hadis tidak muncul dalam suatu kevakuman melainkan lahir dalam suatu konteks tertentu, di latar belakangi oleh situasi dan kondisi tertentu. Hadis merupakan laporan-laporan seputar Nabi SAW dalam berbagai keadaannya. Hadis bisa saja sebagai laporan atas pernyataan-pernyataan, Keputusan-keputusan, tingkah laku Nabi SAW sendiri yang disampaikannya dalam situasi khusus atau bisa juga didepan umum seperti halnya khutbah dsb. Bahkan hadis juga dapat berupa praktik-praktik tertentu oleh sahabat Nabi atau masyarakat di zamannya yang disetujui atau diketahui Nabi SAW akan tetapi didiamkannya (takrir Nabi).

Penting bagi kita dalam memahami hadis untuk memperhatikan asbabul wurud hadis. Sebab wurud hadis merupakan peristiwa yang melatarbelakangi munculnya sebuah hadis dan kemunculan hadis itu merupakan respon terhadap peristiwa itu. atau situasi dan kondisi yang melatar belakangi munculnya hadis. Begitupun dengan al-Qur’an yang memiliki asbabun Nuzul.

A. TA’RIF HADIS

Hadis adalah suatu laporan masa silam yang terkait dengan Nabi SAW, dari ta’rif ini maka hadis disamakan dengan sejarah, karena sejarah juga diartikan sebagai laporan masa silam. Akan tetapi dari segi bentuk antara hadis dan sejarah keduanya berbeda. Sejarah adalah suatu pendapat yang merupakan rekonstruksi yang dibuat oleh orang tidak sezaman mengenai suatu bagian masa silam berdasarkan bukti-bukti yang ada. Artinya sejarah bisa di defenisikan sebagai suatu pernyataan umum (general statement) tentang masa silam.

Berbeda dengan hadis, ia adalah sebuah pernyataan historis yang bersifat singular dan bukan merupan deskripsi menyeluruh mengenai bagian tertentu dari masa silam, artinya hadis bukanlah rekonstruksi, melainkan laporan sezaman secara apa adanya oleh yang mengalami peristiwa tersebut (maksudnya : laporan yang dibuat oleh orang yang langsung mengalami peristiwanya) yang kemudian disampaikan dari generasi ke generasi yang pada umumnya peristiwa ini tunggal. Contoh hadis dari Aisyah ra. tentang memudahkan mahar dalam pernikahan.

Para ahli hadis telah sepakat bahwa hadis merupakan laporan historis yang menyangkut tentang Nabi SAW, akan tetapi bagi ahli ushul fikih dan fikih, hadis tidak hanya merupakan kenyataan historis seputar Nabi SAW akan tetapi disamping sebagai kenyataan historis dia juga bersifat normatif. Sehingga hadis yang tidak normatif, melainkan hanya sekedar laporan masa silam mengenai Nabi SAW bukanlah hadis menurut Fukaha, seperti contoh laporan mengenai gambaran fisik Rasulullah yang tidak ada sangkut pautnya dengan syara’, olehnya itu para fukaha dan ahli ushul mengidentikkan hadis dengan sunnah.

B. HADIS SEBAGAI SUBSTANSI MAKNA DAN DATA HISTORIS

Dalam memahami hakikat hadis ada dua aliran besar, yang pertama, aliran yang melihat hadis sebagai substansi makna, dan yang kedua, adalah aliran yang melihat hadis sebagai data historis. Bagi aliran pertama hadis sebagai substansi makan, maka kandungan hadis itu menjadi amat penting dan menjadi kriteria pokok untuk menilai keshahihan hadis itu (meskipun unsur sanadnya tetap penting). Maksudnya, kandungan suatu hadis haruslah tidak bertentangan dengan sejumlah makna lain yang telah tetap di dalam syariah karena syariah merupakan sistem logis dalam Islam, sehingga apabila ada pemahaman hadis yang tidak cocok dengan sistem logis tersebut maka hadis itu harus ditolak. Sebab, Nabi SAW tidak mungkin berkata atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan sistem ajaran yang dibawanya. Pendapat ini banyak dipegang oleh ulama Hanafiyah. Sehingga tidak mengherankan apabila mazhab hanafi menolak hadis yang bertentangan dengan qiyas dan kaidah umum syariah jika hadis tersebut diriwayatkan oleh rawi yang bukan ahli ijtihad (yang tidak begitu memahami tentang substansi makna).

Sedangkan aliran kedua lebih condong melihat hadis sebagai suatu data historis, artinya suatu hadis apabila secara historis sudah diakui keotentikannya berdasarkan penilaian sanadnya, maka hadis tersebut wajib diterima sekalipun kandungannya bertentangan dengan makna-makna lain yang telah ditetapkan, bahkan ia dapat membatasi keumuman al-Qur’an dan penambahan oleh hadis juga dapat diterima dan tidak dianggap sebagai nasakh terhadap prinsip yang ada. Sehingga studi ini membutuhkan kritik matan hadis, akan tetapi sejauh ini kritik matan hadis secara garis besar hanya tertuju pada format matan buka substansi isi, contohnya apakah matan hadis tersebut terdapat sisipan rawi ‘Idraj’ apakah matan terbalik atau tidak dll.

Kedua paradigma mengenai pandangan hadis ini membawa konsekuansi yang mendalam dalam pemahaman hadis. Aliran pertama banyak menolak hadis-hadis yang dianggap aliran lainnya sebagai hadis shahih sekalipun hadis itu diriwayatkan oleh shahihain, Bukhari dan Muslim.

C. PENDEKATAN DAN METODE PEMAHAMAN HADIS

Pendekatan integral sangat tepat untuk memahami sebuah hadis, yaitu melihat hadis secara keseluruhan dari mana suatu makna disimpulkan, jadi tidak melihatnya satu persatu kemudian disimpulkan secara terpisah dari masing-masing hadis. Hal ini sejalan dengan pendapat Asy-Syatibi dalam pendekatannya yang menyatakan bahwa “lil ijtima’I khashiyat laisa lil iftiraaq” di dalam keseluruhan terdapat makna baru yang kemungkinan tidak terdapat dalam bagian secara terpisah.

Berangkat dari pendekatan integral maka dapat dikembangkan tiga metode dalam pemahamn hadis :
  1. Metode induksi Tematis, Menurut as Syatibi dalam bukunya al Muwafaqat fii Ushulil Ahkam, induksi tematis merupakan kesimpulan ruh yang terkandung di dalam berbagai dalil (teks syariah, termasuk hadis), yang ditarik dari sejumlah dalil (nas) yang saling berkaitan. Misalnya hadis larangan membuat patung jika dikaitkan dengan dalil yang lain maka, hukum membuat mengoleksi, menjual patung/boneka boleh sepanjang tidak disertai dengan pandangan magis terhadap patung tersebut.
  2. Metode Rekonstruksi Hadis, Diawal tulisan telah dikemukakan perbedaan sejarah dan hadis, sejarah biasanya bersifat general, akan tetapi hadis merupakan pernyataan yang partikular mengenai sepenggal peristiwa. Hadis tidak memotret seluruh peristiwa secara lengkap, walaupun pada kenyataannya ada beberapa hadis yang panjang menceritakan rangkaian peristiwa, contoh hadis tentang perjalanan haji Wada’ Nabi SAW, akan tetapi dalam hadis ini masih banyak bagian-bagian yang hilang yang tidak ikut diceritakan dalam hadis, khususnya keberadaan Nabi di Zulhulaifah dimana beliau memulai ihramnya. ”Dari Muharrisy al Ka’bi diceritakan bahwa : Nabi SAW tiba di Ji’ranah, lalu beliau masuk ke masjid, lalu beliau mengerjakan sholat, kemudian berpakaian ihram lalu melakukan perjalanan tidak cepat atau lambat, lalu menuju ke Batna Sarif sehingga menemukan jalan ke Madinah, pada pagi harinya beliau telah berada di Mekah seperti layaknya orang yang bermukim di Mekah (HR. Abu Daud, dalam Sunan Abu Daud Kitab al Manasik, hadis no. 1996). Dalam hadis di atas Nabi seolah-olah digambarkan bahwa nabi tidak butuh waktu berhari-hari dalam pelaksanaan perjalanan hajinya. Nabi SAW cukup datang ke Ji’ranah kemudian ke masjid-sholat-ihram-berangkat umrah sepertinya peristiwa itu terjadi hanya beberapa jam saja. Padahal dari sejarah ditemukan bahwa Nabi SAW berada di ji’ranah dalam waktu yang cukup lama (di ji’ranah Nabi menyusun strategi perang Hunain dan membagikan harta rampasan perang) namun di dalam hadis rangkaian waktu yang panjang itu tidak ditemukan. Olehnya itu dalam pemahaman hadis, episode-episode yang hilang itu harus dikembalikan, sehingga peristiwa-peristiwa penting dapat diletakkan dan dilihat dalam momen waktu yang tepat dan sebenarnya, pengembalian unsur waktu dan penempatan kembali peristiwa-peristiwa dalam momen yang sebenarnya inilah yang disebut sebagai metode rekonstruksi dalam pemahaman hadis.
  3. Metode Hirarki Norma, Menurut metode ini, suatu hadis harus ditempatkan didalam hirarki Norma Syariah. Norma Syariah secara hirarkis dibedakan dalam 3 lapisan yaitu, Norma Dasar (al-Qiyamul as-Siyyah), asas-asas umum (al-usulul kulliyyah), dan norma kongkrit (al-ahkamul far’iyyah). Norma dasar bersifat abstrak dan universal serta menggambarkan pokok-pokok fundamental ajaran Islam seperti : Tauhid, persaudaraan, kemaslahatan, keadilan, persamaan, musyawarah dll. Asas umum merupakan penjabaran dari norma dasar yang bersifat abstrak biasanya dirumuskan dalam al-Qawaidul fiqhiyyah dan al-Nazariyyah al-Fiqhiyyah. Sedangkan Norma kongkrit merupakan penjabaran dari norma-norma abstrak di atasnya. Agar bisa dipahami kami contohkan tentang “larangan isteri puasa sunnat pada saat suami ada di tempat (tidak bepergian) tanpa izin suaminya” pemahaman hadis ini haruslah ditempatkan sesuai dengan norma syariah. “Janganlah seseorang (istri) berpuasa sunnah ketika suaminya ada (berada ditempat) tanpa seizing suaminya”. (HR. Bukhari). Hadis tersebut terkadang dipahami sebagai salah satu hadis yang mendiskreditkan perempuan, dimana seorang perempuan seharusnya meminta izin kepada suaminya sebelum berpuasa sunnah dan tidak sebaliknya. Sehingga hadis ini butuh pemahaman yang baik. Norma dasar yang harus dikaitkan dalam pemahaman hadis ini terdapat dalam 3 Ayat al-Qur’an (asy-Syura’ : 28, an-Nisa : 124, an Nahl : 128), ayat ini mengandung 2 norma dasar yaitu musyawarah dan persamaan. Hadis larangan istri berpuasa sunnah tanpa izin suami jika ditelusuri asbabul wurud-nya maka ditemukan bahwa kasus ini hanya kebetulan saja terjadi pada salah seorang sahabat (Safwan bin Mu’attal), kasus tentang larangan beribadah sunnah tanpa izin pasangan juga pernah terjadi dalam hadis Abdullah Ibn Amr yang dilarang berpuasa, sholat malam terus menerus tanpa henti. Rasulullah bersabda “ ….. sesungguhnya tubuhmu mempunya hak terhadapmu, matamu juga punya hak, dan istrimu mempunyai hak terhadapmu.”
Dari uraian tersebut dapatlah dipahami bahwa bukan hanya istri yang diperintahkan meminta izin kepada suami untuk beribadah sunnah, akan tetapi sesuai dengan hadis Nabi SAW dan QS. Asy-Syura : 38 maka suami atau istri harus bermusyawarah guna memperoleh persetujuan pasangannya untuk melakukan puasa sunnah. Pemahaman ini didasarkan kepada pertimbangan berbagai tingkat norma dalam syariah.

Akhirnya, untuk memahami sebuah hadis maka hal terpenting yang dilakukan adalah mengembalikan dimensi waktu_tempat (episode-episode) yang hilang dalam hadis itu, agar kita dapat memahami hadis secara komprehensif dan tentunya sesuai dengan norma syariah yang berlaku.

Sumber Bacaan :
  1. An Nawawi, Syarah an Nawawi ala Shahih Muslim  (Beirut : Dar Ihya at Turas al A’rabi, tt)
  2. Asy-Syatibi, al Muafaqah fii Usulil Ahkam (Dar al fikr li at Tiba’ah wa an Nasyr wa at Tauzi : 1934 H)
  3. M. Amin Abdullah (1996) “Hadis dalam Khazanah Intelektual Muslim”
  4. M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994)
  5. Nuruddin, Ulum al Hadis, terj. Mujiyo ( Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1994)
Oleh:
EKAWATI HAMZAH
(Dosen IAI As'adiyah Sengkang)

Friday, May 29, 2020

KEGELISAHAN KAUM INTELEKTUAL MUSLIM TERHADAP KETERTINGGALAN UMAT ISLAM DALAM BIDANG ILMU PENGETAHUAN

Umat Islam pernah menorehkan kegemilangan peradaban yang sangat luar biasa sekitar abad ke VII sampai dengan abad ke XIII Masehi, bahkan beberapa abad setelahnya pengaruh itu masih sangat terasa kuat di Eropa. Pada abad-abad yang dikenal sebagai the golden age of Islam" ini, kaum muslim menjadi mercusuar peradaban dunia dan pelopor kecemerlangan ilmu pengetahuan. Peradaban muslim menjadi rujukan dari umat-umat lain. Bahasa Arab menjadi bahasa International dalam bidang keilmuan, yang harus dikuasai oleh mereka yang hendak mendalami bidang yang satu ini.

Pada masa kejayaannya, dunia Islam dikenal dengan para ilmuannya yang menguasai beragam disiplin keilmuan, misalnya bidang teologi, sastra, sejarah, kedokteran, matematika, astronomi, filsafat dan lain-lain. Tak dipungkiri bahwa kemajuan dibidang ilmu pengetahuan yang dicapai oleh umat Islam selama berabad-abad tersebut diperoleh melalui ikhtiar yang kuat dengan motivasi yang didorong oleh agama. Namun setelah beberapa abad berada dipuncak peradaban dunia, umat Islam memasuki fase kemunduran. Nasib tragis menimpa umat yang pernah memimpin peradaban ini. Mereka mengalami kehinaan dan ketertindasan dalam penjajahan. Kemiskinan dan kebodohan menjadi sesuatu yang melekat padanya. Nurcholis Madjid mengilustrasikannya dengan sebuah pernyataan: "Dewasa ini dunia Islam praktis merupakan kawasan bumi yang paling terbelakang diantara penganut agama-agama besar. Negeri-negeri Islam jauh tertinggal  dari Eropa Utara, Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru yang Protestan, Eropa Selatan, Amerika Selatan yang Katolik Romawi, Eropa Timur yang Katolik Ortodoks, Israel yang Yahudi, India yang Hindu, China (giant dragon), Korea Selatan, Taiwan, Hingkong dan Singapura yang (litle dragon) yang Buddhist-Confusianis, Jepang yang Bhudis Taois dan Thailand yang Budhist. Praktis tidak satupun agama besar di muka bumi ini yang lebih rendah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya daripada Islam. Dengan perkataan lain, diantara semua penganut agama besar di dunia ini, para pemeluk Islam adalah yang paling rendah dan lemah dalam hal sains dan teknologi.

Kemajuan yang telah dicapai oleh Barat dewasa ini, sebenarnya mempunyai kaitan dengan yang erat dengan perkembangan  peradaban Islam baik ketika Islam mencapai kemajuan di Eropa ataupun  puncak kemajuan yang dicapai dunia Islam di Baghdad. Bangsa Barat banyak berhutang budi kepada para ilmuan muslim yang telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kelemahan dan kemunduran dunia Islam dimanfaatkan oleh bangsa-bangsa Barat untuk bangkit dan bergerak menuju ke arah negara-negara Islam untuk menguasai dan menjajahnya. Motivasi mereka menjajah dunia Islam adalah faktor ekonomi, politik dan agama. Hal ini terlihat dari cara mereka melakukan interaksi dengan dunia Islam pada awal-awal kedatangannya. Mereka datang dengan dalih untuk berdagang dan mencari rempah-rempah di timur. Akhirnya mereka terangsang oleh keuntungan besar dan ambis yang kuat, sehingga muncullah keinginan untuk menguasai semua sistem ekonomi dan politik negara-negara Islam yang dikuasainya.

Pada saat yang sama, dunia Islam terus dilanda pergolakan dan kemorosotan di berbagai bidang, sehingga negara-negara Islam tidak mampu bersaing dengan Barat yang didukung oleh kekuatan militer yang tangguh. Saat itulah dunia Islam berada dalam kekuasaan penjajah Barat.
Sebagai akibat dari perang yang berkepanjangan, susunan masyarakat Islam menjadi terganggun yang pada akhirnya melemah. Sebab segala daya dan kekuatan yang dimiliki terkuras habis untuk mempertahankan kekuasaan umat Islam. Semua itu membutuhkan kekuatan dan stabilitas ekonomi. Jika ekonomi terus dipergunakan untuk kepentingan peperangan, maka stabilitas ekonomi akan terganggu. Jika perekonomian terganggu, maka kehidupan masyarakat tidak akan menentu. Artinya bahwa stabilitas politik sangat menentukan bagi stabilitas dalam bidang-bidang lainnya, seperti sosial, ekonomi dan juga peradaban umat.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, benturan-benturan antara Islam dan kekuatan Eropa telah menyadarkan umat Islam bahwa mereka memang jauh tertinggal dari Eropa. Hal ini dirasakan dan disadari pertama kali oleh Turki, karena kerajaan inilah yang pertama dan utama dalam usaha menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk belajar dari Eropa.

Di tengah  dominasi peradaban Barat, kesadaran akan ketertinggalan umat menyeruak dalam diri para intelektual muslim. Lemahnya penguasaan pada ilmu pengetahuan adalah kunci dari ketertinggalan ini. Para pemikir seperti Muhammad Abduh, Seyyed Hossein Nasr, Fazlur Rahman, Ismail al-Faruqi, Muhammad Naquib al-Attas adalah diantara mereka yang prihatin sekaligus punya semangat membara dalam upaya mencari solusi ketertinggal umat Islam di bidang yang satu ini.

Bagaimanakah para pemikir muslim memberikan respon terhadap wacana kebangkitan Islam dan dominasi ilmu pengetahuan Barat? sebagai bagian dari ikhtiar merebut kembali supremasi ilmu pengetahuan, ada banyak varian pemikir muslim yang berbicara tentang hal ini, namun secara umum berdasarkan orientasi pemikirannya, dapat dikelompokkan pada empat kelompok besar: (ini yang berada di dalam wacana kebangkitan Islam).

Pertama, Kecenderungan terhadap peradaban dan Barat
Gelombang pertama kebangkitan Islam modernis berawal dari Thahtawi di Mesir dan Khairuddin Pasya Tunisi di Tunisia. Keduanya mendasarkan pemikirannya pada poros bahwa Muslimin tidak memiliki jalan lain untuk maju kecuali dengan mencapai pengetahuan Eropa.

Kelompok ini tidak berpikir tentang kemungkinan pertentangan antara Islam dan peradaban Eropa. Sebab mereka percaya bahwa pada dasarnya peradaban Eropa terilhami oleh Islam dan sains Eropa adalah terjemahan sains Islam yang terdahulu. Sains barat adalah sains Islam. Oleh karena itu, tujuan mereka adalah untuk menentukan tolok ukur  yang berguna untuk mengambil peradaban dari Eropa. Masih manurut mereka, hanya lembaga-lembaga non-religius yang perlu untuk diberdayakan.

Kedua, Kecenderungan terhadap peradaban dan Islam
Pada dasarnya, kelompok ini penyeru kebangkitan Islam yang memiliki kecenderungan peradaban dan Islam. Tokoh yang menonjol di kelompok ini adalah Sayyid Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, dengan perbedaan bahwa Sayyid Jamaluddin Al-Afghani lebih dekat dengan generasi pertama sementara Muhammad Abduh lebih mirip dengan generasi tradisionalis setelahnya.

Reformasi yang dikumandangkan oleh Jamaluddin Al-Afghani adalah Tajaddud (Pembaharuan; modernisasi). Ia berharap dapat mengenalkan dunia Islam dan kaum muslimin dengan masa modern, keistimewaannya dan faktor-faktor penyebabnya. Dapat menciptakan kondisi dimana kaum Muslimin dapat berpartisipasi di peradaban dunia baru ini dan dapat memperkuat diri berlandaskan elemen-elemennya yaitu, sains, rasionalitas dan yang lain seperti lembaga politik yang demokratis. yang Ia dorong adalah bukan kepedulian identitas melainkan mengupayakan penguatan terhadap dunia Islam. yang membedakan Jamaluddin al-Afghani dengan kelompok pertama adalah terletak pada postulat prinsipal: Pertama, peran agama dalam kehidupan bangsa-bangsa yang tak dapat dielakkan. Kedua, kebutuhan terhadap lembaga-lembaga modern dan keahlian teknis untuk menjawab kebutuhan kehidupan baru. 

Secara global, poros pemikiran kelompok ini menekankan rasionalitas dan sains sebagai prinsip, kemampuan Islam dalam membangun peradaban, peningkatan kekuatan Muslimin, kebersamaan dan persatuan di dasarkan Islam, perlawanan terhadap hegemoni Eropa.

Ketiga, Kecenderungan terhadap Islamisme dan tradisional
Kecenderungan Islamisme tradisional dan pemikir unggulannya Rasyid Ridha yang sekaligus penerus pemikiran Salafiah, melihat kebangkitan Islam pada semangat untuk merujuk ke sistem dan tradisi para pembesar Islam. Kegagalan negara-negara Islam dalam mengikuti pemikiran generasi sebelumnya yang menyerukan penyerapan terhadap pencapaian saintifik dan politik peradaban modern dan makin terperosoknya mereka ke dalam  jurang kemunduran, telah mewariskan kekhawatiran yang lebih mendalam pada diri para tradisionalis Muslim terhadap ancaman barat dan hilangnya identitas keislaman. Islamisme tradisional adalah jawaban terhadap kegelisahan tersebut.

Haraer Dakmejian menelaah Sayyid Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridah adalah satu rumpun. Padahal itu jelas keliru. Pemikiran Islamisme tradisional menjauh dari tajaddud (pembaharuan) dan lebih dekat dengan konservatisme. Para pembaharu berupaya mereformasi dan menerapkan Islam dengan tuntutan zaman, sementara kaum konservatisme sangat memegang teguh tradisi Islam dan bereaksi keras terhadap infiltrasi budaya dan ancaman politik barat.

Keempat, Kecenderungan terhadap fundamentalisme Islam.
Jacque Berque mengatakan dalam sebuah analisa tentang fundamentalisme Islam, bahwa kegagalan negara-negara Islam dalam menyodorkan model yang sesuai dengan zaman  modern pada abad ke XX adalah penyebab ekstrimisme mereka. ia meyakini bahwa sebab internal terpenting adalah berhentinya ijtihad dan penumpasan gerakan-gerakan reformis dengan slogan melawan bid'ah.

Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin berpendapat demikian tentang para pembaharu: "Al-Afghani hanya sebuah teriakan peringatan untuk penyelesaian masalah, Muhammad Abduh hanya seorang guru dan filsuf sementara Rasyid Ridha hanyalaha sejarawan dan reporter, Sementara Ikhwanil Muslimin berarti Jihad, usaha dan karya dan bukan hanya pesan.

Ikhwanul Muslimin adalah sebuah gerakan sosio-politik religius yang mencari perubahan mendasar dalam masyarakat Muslim. Salah satu keyakinan dasar Ikhawanul Muslimin adalah kekuatan Islam yang tak dapat diungguli dalam menyelesaikan masalah sosio-politik masyarakat muslim, yang mana hal itu adalah esensi dari fundamentalisme Islam.

Sehingga pemikir seperti Imam Khomeini dan Sayyid Qutb, mengakui bahwa Islam juga agama juga negara. Nilai dan model prilaku barat tidak dapat dikomporomikan dengan nilai-nilai Islam yang paripurna.

Perlu dikemukakan disini bahwa sesungguhnya kegelisahan yang menyeruak di batin para intelektual yang kemudian dikumandangkan dalam gerakan-gerakan yang disebut "ghirah", sebuah semangat untuk kembali bangkit, untuk itu perlu ada kesadaran yang massif atas ketertinggalan umat Islam dan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan sebagai upaya untuk meraih kembali kejayaan Islam. Ini kiranya menjadi modal dasar yang sangat bagus bagi umat dalam upaya membangun kembali supremasi ilmu pengetahuan yang menjadi indikator kemajuan sebuah bangsa dan peradaban.

Sumber Bacaan:
  1. Abidin, M. Z. (2006). Islam dan Ilmu Pengetahuan Dalam Diskursus Muslim Kontemporer. Ulumuna10(2), 391-410.
  2. Ali Velayati, (2006). Pasang Surut Peradaban Islam. Jurnal al-Huda, vol. III (12),59-96.
  3. Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam : Imperium Turki Usmani, (Jakarta : Kalam
    Mulia, 1988) 
  4. Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam,  (Jakarta: Paramadina, 1997)
  5. Nurdin, N. (2014). Invasi Politik dan Militer Dunia Barat Ke Dunia Islam Abad ke  XVII dan XIX. Makalah.
Oleh :
NURDIN ZAINAL

Wednesday, May 27, 2020

PRINSIP UNIVERSAL AS'ADIYAH

Pondok Pesantren As'adiyah merupakan pondok pesantren yang memiliki pengaruh yang sangat luar biasa dan masih tetap eksis hingga sekarang. Pada dasarnya, As'adiyah terkenal sebagai lembaga pendidikan dan dakwah bukan organisasi kemasyarakatan. Dengan posisi sebagai lembaga pendidikan dan dakwah, tidak membatasi ruang gerak warga As'adiyah dan sikap responsif mereka dalam bidang politik, budaya, sosial kemasyarakatan. Ulama dan alumni As'adiyah tidak membatasi diri mereka hanya pada bidang pendidikan dan dakwah saja, secara personal banyak alumni As'adiyah yang berkualitas sebagai politisi, budayawan, pakar sosial kemasyarakatan.
Begitu pula Pondok Pesantren As'adiyah berusaha untuk tetap eksis di tengah-tengah masyarakat dengan memperluas jangkauannya seperti Radio Suara As'adiyah yang pertama kali mengudarapada tahun 1968 dan As'adiyah Channel yang diluncurkan pada tahun 2020. Hal ini menandakan bahwa sebagai lembaga pendidikan dan dakwah, As'adiyah berkehendak untuk menyebarkan edukasi dan dakwah kepada masyarakat tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. As'adiyah berusaha menyebarkan pendidikannya dengan ciri ahlu sunnah wal jamaah dan menyebarkan dakwahnya dengan ciri moderat. Ahlu sunnah wal jama'ah terkenal dengan aliran yang tidak pernah mempertentangkan agama dan negara serta aliran yang tidak pernah bertentangan dengan pemerintah.


Prinsip Universal As'adiyah yang diajarkan oleh Anregurutta dahulu dan diteruskan oleh guru-gurutta setelahnya, setidaknya ada dua prinsip dasar, antara lain:
  1. Prinsip Kerjasama dan Tolong Menolong, Prinsip ini berdasarkan pada ayat suci al-Qur'an Surah Al-Maidah: 3 yang berbunyi: وتعاونوا على البر و التقوى (Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa. Prinsip ini tertuang dalam logo As'adiyah sebagai prinsip dasar yang berlaku secara universal bagi seluruh warga As'adiyah dimanapun berada. Hal ini menunjukkan bahwa ulama As'adiyah menghendaki warga As'adiyah untuk saling tolong-menolong dan bekerjasama dalam kebaikan dan taqwa. Sehingga yang tertanam dalam jati diri warga As'adiyah adalah sikap kepedulian sosial dan solidaritas. Sebaliknya, warga As'adiyah yang telah kehilangan jati dirinya jika tidak mempunyai kepekaan sosial, maka ia mempunyai sifat egoisme diri sendiri.
  2. Prinsip Ketaatan dan kepatuhan, prinsip ini juga berdasarkan pada QS. An-Nur : 51 yang berbunyi: انما كان قول المؤمنين اذا دعوا الى الله ورسوله ليحكم بينهم ان يقولو سمعنا واطعنا واولئك هم المفلحون (Hanya ucapan orang-orang mukmin, yang apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul memutuskan (perkara) di antara mereka, mereka berkata: "Kami mendengar dan kami taat", dan mereka itulah orang-orang yang beruntung). Prinsip ini juga berlaku secara universal bagi warga As'adiyah. Anregurutta K.H. Abunawas Bintang dalam beberapa nasehatnya selalu menggunakan ayat ini sebagai dasar ketaatan seorang murid kepada gurunya. Begitu pula putra Anregurutta, Gurutta Dr. H. Kamaluddin Abunawas, saat memberikan informasi mendalam kepada penulis menyatakan bahwa As'adiyah menggunakan prinsip "Sami'na wa atha'na" terhadap pemerintah dan segala kebijakannya. Hal ini menunjukkan bahwa ketaatan seorang murid kepada gurunya adalah sebuah kemutlakan, begitu pula  ketaatan seorang warga kepada pemimpinnya adalah sebuah kemutlakan. Jika suatu saat warga As'adiyah durhaka kepada gurunya, menyalahi dan memfitnah pemimpinnya maka sesungguhnya telah menghilangkan jati diri As'adiyah pada dirinya.
Konsep tersebut menjadi sebuah pedoman, tuntunan bagi setiap warga As'adiyah secara universal dalam melakukan setiap aktivitas yang nantinya mendapatkan ridha dari Allah Swt. Semoga artikel ini bermanfaat untuk kita semua.

Sumber Bacaan:
  1. Al-Quran dan Terjemahnya
  2. Wawancara Dr. H. Kamaluddin Abunawas (Warek IV UIN Alauddin Makassar)
  3. Tarmizi, Disertasi; Peran Pondok Pesantren As'adiyah Sengkang Dalam Menjaga Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (Telaah Atas Maqasid  Al-Syariah).
Oleh:
TARMIZI THAHIR
(Pembina Ma'had Aly As'adiyah dan Dosen IAI As'adiyah)

RUMAH BESAR ITU BERNAMA ISLAM

Ada apa dengan Islam akhir-akhir ini? Islam menjadi perdebatan kuat diantara orang-orang muslim sendiri, saling klaim kebenaran terhadap sakralitas dan kemapanan normatifitas Islam! Sehingga antara satu kelompok dengan kelompok yang lain di dalam Islam saling menyeru agar waspada terhadap bahaya kelompok Islam Liberal, Islam Nusantara, Islam Fundamentalis, Islam Sekuler, Islam Rasional dan lain-lain sebagai. Hanya Islam yang mereka anut saja yang benar.

Pemahaman keagamaan disadari atau tidak selalu bergumul dengan dua aspek, teologis dalam pengertian normatif dan sejarah. Muncul pandangan keagamaan yang beraksentuasi tradisional, modern, ekstrim, liberal dan sebagainya, dapat diduga akibat pergumulan manusia dengan keyakinan, pengalaman, kemampuan, lingkungan, cita-cita yang itu semua oleh Iqbal disebut sebagai dimensi yang berubah. Kesadaran akan sesuatu yang berubah inilah yang pada gilirannya menghasilkan  corak pemahaman keagamaan yang beragam. Di negeri-negeri Muslim selain Indonesia, kita  menyaksikan betapa dinamika pemahaman itu menjadi kekayaan intelektual tersendiri. Kita sebut saja Imam Khomeini (Iran) yang terkenal dengan gagasan Islam Revolusi-nya. Hassan Hanafi (Mesir) yang terkenal dengan gagasan al-Yassar al-Islami (Kiri Islam) dan menulis karya monumental "Min al-Aqidah ila Thawrah" (dari teologi ke revolusi) sebanyak 5 jilid.  Mohammed Arkoun (Aljazair), Fazlur Rahman (Pakistan),  Asghar Ali Engineer (India), yang terkenal dalam bukunya, "Islam and Its Relevane to Our Age" (Islam dan Relevansinya dengan zaman kita).

Karya intelektual yang mereka tulis merupakan refleksi zaman, kalau tidak disebutkan sebagai dekonstruksi terhadap pemahaman klasik. Mereka berbicara Islam dengan melibatkan analisa filsafat, sosiologi, dan antropologi secara mendalam sehingga Islam tidak saja didekati secara normatif melainkan juga wajah Islam sebagai produk sejarah dan sebagai realitas sosial. 

Terlepas dari perdebatan pada ranah teologis, Islam sesungguhnya adalah Rumah besar bagi para penganut-penganutnya. pada tabel berikut ini, sebuah gambaran yang ingin disampaikan bahwa ISLAM itu adalah sebuah RUMAH BESAR. Yang namanya rumah tentu ada sekat-sekat (kamar-kamar). Masing-masing kamar punya potensi yang berbeda dengan kamar satu sama lainnya dan punya tanggung jawab untuk menjaga dan memelihara rumah mereka. Sesungguhnya Islam pun demikian adanya, mestinya masing-masing kelompok, golongan atau aliran harus saling menguatkan satu sama lainnya untuk menjaga dan membangun peradaban Islam yang ramah dan mencerahkan. Bukan justru saling menafikan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain yang pada akhirnya merusak citra besar Islam. 

Perhatikan tabel berikut:
Bukankah kehadiran kelompok-kelompok  dalam Islam hanyak bentuk respon dari tafsiran sejarah pemikiran?

Sehingga untuk meluaskan pandangan kita, agaknya perlu mengkuliti makna Islam  itu sendiri. Kita mengetahui bahwa Islam selain makna harafiahnya "berserah diri". juga menelaah dua pemahaman besar berikut ini.

Pertama, Islam yang dipahami sebagai dokumentasi ajaran yang diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. Konsep ini dipahami secara eksklusif dan harfiah sebagai sesuatu yang telah terkapling pada sebuah produk syariat. Pesannya sangat jelas bahwa tidak ada ruang toleransi dan keselamatan di luarnya. Komunitas selain lembaga Islam adalah kafir dan seluruh amaliahnya tidak berefek sedikitpun. Ayat "Innaddinaa 'inda Allah al-Islam". Dalam penjelasan agama yang sangat doktriner dan monolitik seperti itu, Islam dibawa pada dimensi uniformisme. Patokan kesalehan dipersempit pada ornamen-ornamen prilaku dan ritual. Monopoli tafsir berlaku di semua wilayah yang disebut agama. Atas konsep yang seperti itu, tidak heran kalau muncul sebuah pertanyaan; apakah Islam demikian objektif? Apakah mungkin Islam seperti ini akan membawa kedamaian bagi kalangan lain bila segenap aktivitasnya tidak bisa membedakan antara pendapatnya (tentang Islam) dan ajaran Islam itu sendiri?

Kedua, Islam yang inklusif. Terkapling, namun memberikan ruang dialog, toleransi dan plurasime. Walau mengakui kebenaran yang tunggal (Obsolute), wilayah ini menyediakan kemungkinan perbedaan penerimaan pesan-pesan suci pada struktur persepsi dan kultur umat.

Tipologi keberagamaan kita memiliki kecenderungan yang berbeda-beda dalam memahami dan menafsirkan sebuah pesan ilahi (wahyu). Tetapi perbedaan itu bukan justru harus memecahkan tali persaudaraan sesama Islam. Islam itu harus kuat, Islam harus menyatu dalam simpul Rahmatan lil 'alamin.

Wallahu A'lam Bisshawab

Sumber Bacaan :
  1. Abdul Mukti, Nalar Islam; dari Tanah Arab ke Tanah Air, Pontianak : IAIN Pontianak Press, 2017
  2. Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1984
Oleh :
NURDIN ZAINAL
nurdinzainal@gmail.com

Tuesday, May 26, 2020

NASEHAT DZUNNUN AL-MISHRI "MENUAI KEBAIKAN DENGAN MEMAAFKAN"

Alhamdulillah rabbil alamin, Segala puji bagi Allah atas segala nikmat-Nya kepada kita sekalian hamba-hamba-Nya. Ramadhan 1441 H. telah kembali ke-haribaan-Nya melaporkan segala perbuatan kita selama sebulan kita bercengkrama dengannya. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang beruntung.

Pada artikel kali ini, saya akan menulis mengenai kisah salah seorang tokoh dunia sufi yang berasal dari Mesir yang bernama Dzunnun Al-Mishri. 

Suatu hari Dzunnun Al-Mishri bersama beberapa muridnya, berlayar di sungai Nil. Mereka berlayar dengan sangat tenang sambil melantunkan dzikir dan puji-pujian kepada Allah Swt. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan perahu yang di isi oleh sekelompok anak muda yang bermain alat musik, berhura-hura, berteriak-teriak. 

Karena merasa jengkel, muridnya melaporkan keadaan tersebut kepada gurunya, mereka berharap agar Dzunnun Al-Mishri berdoa kepada Allah Swt agar mereka dan perahunya di tengelamkan sampai di dasar laut atas prilakunya yang bisa menganggu keselamatan jiwa orang lain.

Dzunnun al-Mishri mengangkat tangan sembari berdoa kepada Allah Swt. "Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memberikan orang-orang itu kehidupan yang menyenangkan di dunia ini, berilah mereka satu kehidupan yang menyenangkan juga di akhirat nanti." Murid-muridnya tercengang dan terkejut mendengarkan doa sang guru. Mereka berharap gurunya akan mendoakan sekelompok anak muda tersebut yang ugal-ugalan itu agar ditenggelamkan Tuhan, Tapi justru berdoa sebaliknya. 

Ketika perahu anak muda tersebut mendekat, mereka melihat Dzunnun al-Mishri ada diperahu itu. Mereka menyesal dan meminta maaf kepada Dzunnun al-Mishri atas perbuatannya tersebut. Mereka memandang wajah Dzunnun al-Mishri yang berseri-seri membuatnya bertaubat kembali ke jalan Allah Swt. dan akhirnya mereka meninggalkan kesenangan duniawi menuju jalan kesucian.

Setelah kejadian itu, Dzunnun al-Mishri memberi pelajaran kepada murid-muridnya, "bahwa kehidupan yang menyenangkan di akhirat nanti adalah bertaubat di dunia ini." Dengan cara seperti ini, kalian dan mereka puas tanpa merugikan siapa pun.

Pelajaran apa yang akan kita petik dari kisah ini? 
Kadangkala kita terbiasa menaruh dendam kepada orang-orang yang berbeda pandangan dengan kita. Bisa jadi hari ini kita menjalani kehidupan yang baik, tapi karena sedikit kesalahan akhirnya kita jengkel kepada orang lain yang kita anggap keliru atau berlebihan dalam bercanda. Kadang keburukan orang lain kita berani mengumbarnya di tempat umum dengan alasan, agar menjadi pelajaran kepada mereka. 

Ingat dengan kisah Rasulullah Saw saat berada di Thaif, beliau mengajak orang-orang kepada Islam, apa balasan mereka, justru melempari nabi dengan batu sampai kakinya harus berlumuran darah. Malaikat datang dan menawarkan kepada Nabi sebuah gunung untuk ditimpakan kepada mereka. Nabi berkata, Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku karena mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti. Sungguh mulia akhlak nabi, Beliau punya kemampuan dan kesempatan untuk membalas lebih keras kepada mereka, namun Nabi hanya memilih untuk mendoakan agar mereka mendapatkan petunjuk.

Tradisi yang baik inilah yang ingin dilanjutkan oleh Dzunnun al-Misrhi, sebuah tradisi kenabian yang mengajarkan kepada kita untuk membalas keburukan yang dilakukan oleh orang lain dengan kebaikan. Bayangkan seandainya anda berdoa agar orang lain atau saingan anda hancur dan binasa, anda hanya punya satu manfaat saja, Hanya kepuasan hawa nafsu karena telah menghancurkan lawan bisnis atau saingan anda. Tapi ketika keburukan itu anda balas dengan doa "Ya Allah, ubahlah kebencian musuh-musuhku menjadi kasih sayang, maka sesungguhnya anda akan mendatangkan manfaat dan ribuan kebaikan kepada semua orang.

Salah satu tradisi yang berkembang di Nusantara setelah Hari Raya Idul Fitri adalah Halal Bi Halal", momen itu bertujuan agar kita menjadi orang-orang yang baik, saling mengikhlaskan, saling merelakan, menghubungkan silaturahmi dengan sesama, keluarga, sahabat, dan tetangga. segala keburukan kita balas dengan kebaikan. maka insya Allah kebaikan akan senantiasa mengalir dan membawa kita lebih dekat dengan Allah Swt. Nabi Saw bersabda: "Tidak ada dua orang muslim yang bertemu kemudian bersalaman kecuali dosa keduanya di ampuni oleh Allah Swt. sebelum mereka berpisah. (HR. Tarmidzi)."

Wallahu A'lam Bisshawab

Sumber Bacaan:
  1. Ceramah Jalaluddin Rakhmat, "Membalas Kebaikan Dengan Kasih Sayang" pada acara Percik Cahaya Ilahi di Radio Ramako, Jakarta pada tanggal 21 November 1997, Transkrip oleh Ilman Fauzi R.
  2. Abi Abdul Jabbar, Kisah Dzunnun Al-Mishri; Membalas Kebencian Dengan Kasih Sayang
Oleh :
NURDIN ZAINAL

Saturday, May 23, 2020

MENUNDUKKAN "AKU" KITA DI IDUL FITRI

Dalam konteks budaya Indonesia, di masyarakat hari raya Idul Fitri di sebut dengan Lebaran. Lebaran  bersifat lokal, hanya berlaku di Indonesia, idul fitri adalah bagian dari syariat Islam yang bersifat universal. Idul fitri bagian dunia manapun yang muslim mengandung makna yang sama, seperti yang dijelaskan oleh Al-Qur'an dan Sunnah. 

Al-Qur'an memerintahkan agar kamu menyempurnakan bilangan puasa kamu dan membesarkan Allah atas petunjuk-Nya kepadamu, mudah-mudahan kalian bersyukur. Idul fitri adalah cara bersyukur  setelah menyempurnakan  seluruh rangkaian puasa kita di bulan ramadhan. Bersyukur itu adalah cara kita mengungkapkan dan membesarkan Allah Swt. Oleh karena itu di seluruh penjuru dunia pada hari Idul fitri, kaum muslimin memenuhi langit dengan kalimat takbir. Kita diingatkan untuk membesarkan asma Allah berulang kali mengucapkan takbir. Setelah kita membesarkan dan mengagungkan-Nya kita tidak boleh meletakkan apapun dan siapapun di atas kebesaran Allah Swt. Karena Dia-lah pemilik segala sesuatu, yang menghidupkan dan mematikan.

Allah Swt. Berfirman di Al-Qur'an Surah Al-A'la yang berbunyi:
سَبِّحِ ٱسۡمَ رَبِّكَ ٱلۡأَعۡلَى ٱلَّذِي خَلَقَ فَسَوَّىٰ وَٱلَّذِي قَدَّرَ فَهَدَىٰ وَٱلَّذِيٓ أَخۡرَجَ ٱلۡمَرۡعَىٰ فَجَعَلَهُۥ غُثَآءً أَحۡوَىٰ سَنُقۡرِئُكَ فَلَا تَنسَىٰٓ إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُۚ إِنَّهُۥ يَعۡلَمُ ٱلۡجَهۡرَ وَمَا يَخۡفَىٰ وَنُيَسِّرُكَ لِلۡيُسۡرَىٰ فَذَكِّرۡ إِن نَّفَعَتِ ٱلذِّكۡرَىٰ سَيَذَّكَّرُ مَن يَخۡشَىٰ وَيَتَجَنَّبُهَا ٱلۡأَشۡقَى ٱلَّذِي يَصۡلَى ٱلنَّارَ ٱلۡكُبۡرَىٰ ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحۡيَىٰ قَدۡ أَفۡلَحَ مَن تَزَكَّىٰ وَذَكَرَ ٱسۡمَ رَبِّهِۦ فَصَلَّىٰ بَلۡ تُؤۡثِرُونَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ وَأَبۡقَىٰٓ إِنَّ هَٰذَا لَفِي ٱلصُّحُفِ ٱلۡأُولَىٰ صُحُفِ إِبۡرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ 
Terjemahnya : Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tingi,  yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, dan yang menumbuhkan rumput-rumputan, lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman. Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa, kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi. dan Kami akan memberi kamu taufik ke jalan yang mudah, oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat, orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, dan orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya. (Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka). Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa
Diriwayatkan dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw dalam shalat Id-nya beliau membaca surah di atas yang dimulai dengan kalimat "Sabbihisma rabbikal a'la". Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi. Sekali lagi bahwa itu mengingatkan kepada kita bahwa yang Tinggi itu hanyalah Allah Rabbul Alamin. Selain-Nya semuanya rendah dan kecil, kekayaan, kedudukan, kekuasaan, presiden, gubernur, bupati. Apatah lagi dengan "aku" kita.

Dalam puasa sesungguhnya ada pesan yang tersirat, pesan itu adalah kita diminta mengecilkan "aku" kita dihadapan Allah. "Aku" kita itu adalah ego, kadang ada diantara kita karena merasa sudah cukup banyak ibadah yang ia lakukan, sholat, zikir, sedekah. Lalu kemudian memandang orang lain itu rendah di matanya.  Padahal kita tidak punya apa-apa yang dapat kita banggakan di hadapan-Nya. Jadikanlah puasa sebagai madrasah, sebagai sekolah yang akan mengantarkan kita dekat ke puncak keagungan Ilahi Robbi.

Di hari lebaran Idul fitri kita diingatkan lagi untuk mengecilkan 'aku' kita. Awas! jangan jatuh lagi ke dalam lubang kenistaan, membesarkan semua kecuali Allah. Bisa jadi selama ini Tuhan kita buang dari kantor kita hanya karena takut kehilangan jabatan dan posisi penting di hadapan pimpinan, Bisa jadi selama ini kita pisahkan Tuhan dengan segala aktivitas kita. Tuhan kita usir dari bisnis kita, karena khawatir akan kehilangan keuntungan yang banyak. Bisa jadi di dalam keluarga kita relah Tuhan kita simpan di sudut-sudut kamar kita, karena khawatir rumah tangga dan keluarga kita berantakan. Bisa jadi selama ini kita lupa bahwa kita ini punya Tuhan yang telah menciptakan kita dan bisa jadi selama ini kita telah mengecilkan Tuhan, kita sudah merendahkan Tuhan pada situasi-situasi tertentu.

Oleh Karena itu, di hari yang fitri, di saat kita mendengarkan takbir, masukkanlah kebesaran Tuhan kembali ke dalam hati kita. Hati yang hanya membesarkan Allah adalah hati yang suci. Itulah fitrah, Idul fitri adalah kembali kepada fitrah kesucian. Kita berupaya kembali meraih Laallakum tattakun, derajat taqwa. Agar seluruh sendi kehidupan kita kembali berada dilorong-lorong cahaya yang terang Itulah makna idul fitri.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriyah. 
Taqabbalallahu minna waminkum, Waahalahullahu 'alaik
(Semoga Allah menerima amalan kami dan darimu sekalian dan semoga Allah menyempurnakannya atasmu)

Sumber Bacaan:
  1. A. Mustafa Bisri. dkk, Bermain Politik di Bulan Ramadhan; Puasa Menghadapi Hedonisme Kontemporer, Pustaka Adiba 1998 
  2. Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual; Refleksi-sosial seorang Cendekiawan Muslim, Mizan, 1991 
 Oleh :
NURDIN ZAINAL
nurdinzainal@gmail.com

Thursday, May 21, 2020

TELAAH SURAH AL-QADR

Salah satu surah di dalam Al-Qur'an yang akan diuraikan pada tulisan kali ini adalah surah Al-Qadr yang merupakan surah ke 97 dalam urutan Mushaf, surah ini berada setelah surah al-Alaq. Para ulama tafsir (ahli Al-Qur'an) sepakat bahwa turunnya surah al-Qadr ini jauh setelah surah pertama (surah al-Alaq) diturunkan. Bahkan surah al-Qadr di golongkan dalam surah madaniyah (kumpulan surah yang diturunkan pasaca Nabi Muhammad Saw hijrah ke Madinah.

Urutan surah al-Qadr dengan surah sebelumnya (al-Alaq) dapat dilihat munasabahnya, jika surah al-Alaq menyampaikan tentang perintah membaca dan salah satu bacaan itu adalah al-Qur'an, maka surah berikutnya membahas tentang turunnya al-Qur'an dan berbagai kemuliaan pada malam waktu turunnya (Nuzulul Al-Qur'an).

Malam Nuzulul Al-Qur'an itu jatuh pada malam ke-27 di bulan suci Ramadhan menurut kalender hijriyah. Yang di malam itu juga dijanjikan suatu malam yang sangat istimewa. khairun min alfisyahar, lebih mulia dari seribu bulan.

Pertanyaan yang bermunculan kemudian adalah, apakah malam itu hanya terjadi sekali saja, yakni ketika turunnya al-Qur'an? ataukah malam lailatul Qadr tersebut datang setiap bulan ramadhan?Sudah menjadi kesepakatan para ulama tafsir bahwa tidak ada lagi wahyu turun setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. Kalaupun ia turun, kapan? apakah malam ke-27 atau malam ke 10 terakhir di bulan ramadhan, atau hanya pada malam-malam ganjil di bulan ramadhan? Apakah benar pada malam itu, terasa hening dan dingin, semesta alam dikelilingi cahaya putih seolah kabut tipis yang menandakan gambaran kemuliaan? Apa dan bagaimana dengan malam itu? pertanyaan inilah yang sering menggelitik  kita untuk mencari tahu jawabannya.

Satu yang pasti tentang lailatul Qadr bahwa malam itu wajib kita imani adanya. Bahwa malam tersebut adalah malam penuh berkah dan kemuliaan seperti digambarkan pada ayat 1 surah al-Qadr.
إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِي لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ  
Terjemahnya: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.
pada malam tersebut ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaa dan keberkahan sebagaimana dijelaskan di dalam surah ad-Dukhan: 3
إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِي لَيۡلَةٖ مُّبَٰرَكَةٍۚ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ  
Terjemahnya: sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.
Ta'rif Al-Qadr
Lafadz Al-Qadr di artikan sebagai:
  1. Kadar, ketetapan, timbangan, pengaturan. Maka lailatul Qadr diartikan sebagai malam yang sudah di atur dan ditetapkan oleh Allah Swt, sesuai surah Ad-Dukhan: 3. Al-Qur'an yang turun pada malam qadr diartikan bahwa pada malam itu Allah Swt sudah mengatur dan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia baik kelompok maupun individu kepada yang yang benar.
  2. Kemuliaan, disebut juga malam qadar sebagai malam mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Qur'an, lafadz qadr yang diturunkan sebagai kemuliaan ditemukan dalam QS. Al-An'am: 91 ... وَمَا قَدَرُواْ ٱللَّهَ حَقَّ قَدۡرِهِۦ "mereka itu tidak menghormati (memuliakan) Allah dengan penghormata yang semestinya..."
  3. Sempit, lafadz "sempit" dapat ditemukan dalam surah ar-Ra'd: 26 ...ٱللَّهُ يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ وَيَقۡدِرُۚ "Allah melapangkan rezeki dan menyempitkan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dikatakan sebagai malam yang sempit karena pada malam itu malaikat-malaikat dan ruh (Jibril as) turun dengan izin Allah untuk mengatur segala urusan.
Ketiga poin di atas pada hakikatnya adalah benar, karena lailatul qadr adalah malam yang mulia yang apabila dapat diraih maka akan menetapkan masa depan manusia dan di malam itu para malaikat (saking banyaknya sehingga terkesan sempit) turun membawa kedamaian dan ketenangan di muka bumi.

Malam Kemuliaan
Malam Qadr adalah malam kemuliaan. Dalam surah al-Qadr; 2  وَمَآ أَدۡرَىٰكَ مَا لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ  "tahukah kamu tentang malam kemuliaan itu?" Lafadz maa adraka digunakan kurang lebih 13 kali dalam al-Qur'an, diantaranya: maa adraka maa thoriq..., maa adraka mal aqabah..., maa adraka maa yaum al fash..., dst. Kesemua potongan ayat tersebut bercerita tentang kehebatan dan keagungan Allah Swt. sepuluh diantaranya bercerita tentang kehebatan hari akhir, kesemuanya itu menyampaikan tentang kehebatan yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia kecuali dibarengi dengan iman.

Waktu Lailatul Qadr
Peristiwa penting dari lailatul qadr menurut al-Qur'an adalah peristiwa yang sangat luar biasa di bulan ramadhan. Di surah al-Baqarah: 185 
شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ... 
Terjemahnya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al'Quran 
Dengan menyandingkan surah al-Baqarah di atas dengan surah al-Qadr : 1 
إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِي لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ  
Terjemahnya: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.
Malam tersebut adalah malam penuh berkah dan kemuliaan. Jadi jelaslah bahwa waktu datangnya lailatul qadr adalah pada bulan ramadhan bertepatan dengan turunnya Al-Qur'an.

Pertanyaan yang muncul kembali adalah apakah malam qadr yang turunnya di bulan ramadhan hanya ada ketika wahyu Al-Qur'an turun (sesuai surah tadi) ataukah masih ada sampai sekarang di bulan ramadhan, walaupun wahyu sudah tidak turun lagi.

Mayoritas ulama berpegang pada pendapat bahwa lailatul qadr terjadi pada setiap bulan ramadhan, bahkan Rasullah Saw menganjurkan kepada umatnya untuk mempersiapkan diri termasuk jiwa untuk menyambut malam kemuliaan tersebut di malam ganjil 10 terakhir ramadhan. Turunnya Al-Qur'an 15 abad lalu yang terjadi pada bulan ramadhan tapi bukan berarti malam mulia itu hanya hadir pada saat itu saja. Dalam ayat Tanazalul malaikat war ruuh.. lafadz Tanazzul merupakan fiil mudhari (kata kerja yang berkesinambungan/present tense), artinya da hubungan yang terjadi antara saat ini dan masa yang akan datang dan hal itu akan terus menerus terjadi.

Lailatul qadr hanya akan bertemu dengan mereka yang terpilih saja, ibarat sebuah tamu agung yang dinantikan setiap penduduk dalam sebuah daerah maka tamu tersebut tidak mungkin mendatangi semua rumah penduduk, hanya mereka yang mensucikan jiwa dan mulia yang akan dipertemukan dengan jiwa yang tak terpelihara. Sehingga Nabi Saw menduga bahwa lailatul qadr akan datang 10 hari terakhir bulan ramadhan karena diharapkan manusia sudah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian diri setelah berpuasa 20 hari sebelumnya sehingga dimungkinkan bertemu dengan malam mulia tersebut. Rasulullah Saw menganjurkan dan mempraktikkan i'tikaf di masjid pada 10 terakhir bulan ramadhan agar malam kemuliaan tersebut berkenaan menemui kita.

Lailatul Qadr yang pertama kali menemui Nabi Saw adalah ketika beliau menyendiri, menyucikan, dan menjernihkan diri (i'tikaf) di gua hira, ketika jiwa beliau telah mencapai kesucian maka turunlah Ruuh (Jibril) menyampaikan wahyu pertama kalinya, membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam sejarah perjalanan hidup Nabi Saw dan umat manusia. Begitu pula bagi kita yang dipertemukan dengan malam kemuliaan tersebut maka sejak malam itu malaikat akan turun guna menyertai dan membimbing manusia menuju kebaikan sampai tebit fajar kehidupannya kelak sampai hari kemudia, sehingga kita dianjurkan dalam beri'tikaf agar membaca bacaan doa dan Al-Qur'an serta bacaan-bacaan yang dapat memperkaya iman dan taqwa. 

Sumber Bacaan:
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, 1994

Oleh:
EKAWATI HAMZAH
Dosen IAI As'adiyah Sengkang

Wednesday, May 20, 2020

MAKNA SYUKUR MENURUT PROF. DR. QURAISH SHIHAB

Mengutip salah satu pesan dari Prof. Dr. Quraish Shihab dalam sebuah ceramah singkatnya dengan "Tema Menyambut Idul Fitri". Idul Fitiri adalah lebaran setelah bulan puasa, itu salah satu id yang diajarkan oleh Islam. dianjurkan bagi orang yang merayakannya untuk mengucapkan takbir. selama puasa kita menenun pakaian takwa. Tujuan puasa seperti kita ketahui bersama menurut Al-Qur'an adalah "Laallakum Tattaqun." Tapi apa tujuan idul fitri? Apa yang harus dilakukan setelah usainya puasanya ramadhan. Al-Qur'an menjelaskan bahwa "Litukmilul iddah walitukabbirullaha 'ala mahadakum wala'allakum tasykurun". Puasa hari demi hari yang berlalu itu hendaknya disempurnakan bilangannya dan agar kamu membesarkan dan meng-Agungkan Allah atas anugerah dan petunjuknya dan agar kamu bersyukur. 

Dalam kamus KBBI Syukur itu adalah ucapan terima kasih kepada Allah, bentuk apresiasi kita terhadap kebaikan yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Rasa menghormati dan mengagungkan segala nikmat-Nya, baik diekspresikan dengan lisan, dimantapkan dengan hati mapun dilaksanakan melalui perbuatan. Sementara Prof. Dr. Quraish Shihab menjelaskan bahwa  Syukur memiliki memiliki 3 makna, yaitu: Pertama, menampakkan apa yang tersembunyi, kalau di bumi pertiwi ada nikmat-nikmat Allah yang begitu banyak yang masih terpendam, maka mensyukurinya adalah menampakkannya ke permukaan, mengolahnya sehingga dapat dinikmati, itu makna pertama dari rasa syukur kita kepada Allah. Kedua, memberi yang banyak walau menerima yang sedikit, itu salah satu makna syukur yang diperintahkan Allah kepada kita untuk melakukannya. Ketiga, bersyukur dalam arti betapa besar anugerah Allah yang Dia berikan kepada kita. Dan anugerahnya itu kita fungsikan sebagaimana Allah menghendaki untuk apa yang dianugerahkannya itu untuk berfungsi.

Laut dianugerahkan Allah, agar kapal-kapal bisa berlayar, agar mutiara-mutiara yang terpendam diangkat dan dipakai, itulah maknanya bersyukur. Tanah adalah anugerah Allah untuk seluruh makhluk-Nya, agar bisa ruku, sujud dan bertasbih kepada-Nya, agar kita bisa mencari rezeki di atasnya. Itulah makna bersyukur. 

Ingat tatkala Allah berfirman di dalam Al-Qur'an Surah Al-Hasyr: 24
هُوَ ٱللَّهُ ٱلۡخَٰلِقُ ٱلۡبَارِئُ ٱلۡمُصَوِّرُۖ لَهُ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ يُسَبِّحُ لَهُۥ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۖ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ  
Terjemahnya: Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Tanah ini, yang sangat jelas bagi kita, setiap saat kita injak-injak, Pepohonan yang ada di dekat kita, sering kita saksikan sering berguguran daunnya, semuanya bersyukur kepada Allah, dan semua tetap bertasbih kepada Allah. 

Lalu bagaimana dengan kita, setiap hari kita sering mengumpat, sering berkata-kata kotor, berpikiran kotor. Apakah kita tidak mau berpikir sejenak dengan segala kekurangan yang kita miliki dan mencoba belajar dari alam, dari tanah dan tumbuh2an yang ada disekitar kita, bahwa apapun yang manusia lakukan di atasnya ia masih tetap bersyukur dan bertasbih kepada Tuhan-Nya. 

Situasi yang kita hadapi sekarang ini, mestinya semakin menambah ketaatan dan rasa bersyukur kita kepada Allah, bukan justru harus saling menyalahkan satu dengan yang lainnya. Keimanan dan rasa bersyukur kita diuji oleh Allah. 

Untuk itu sebagai orang yang beriman, kita dituntun agar bersyukur atas segala pemberian dari Maha yang Kuasa, kita gunakan dalam rangka ketaatan kepada-Nya dan tidak menyebabkan mereka sombong dan lupa kepada yang memberikan kita nikmat dan kehidupan. Mudah-mudahan kita semua termasuk orang-orang yang pandai bersyukur.
Wallahu A'lam Bisshawab.

Sumber Bacaan:
  1. Kultum Quraish Shihab, Menyambut Idul Fitri, 2009
  2. Bacaan Madani, Makna Syukur Dalam Pandangan Islam
  3. KBBI, Syukur
Oleh : Tim Pena Cendekia7

Tuesday, May 19, 2020

NASEHAT (2) AG. KH. MUHAMMAD AS'AD AL-BUGISY

Pada tulisan kali ini, kami kembali mengutip salah satu syair yang berisi tentang nasehat-nasehat AG. KH. Muhammad As'ad Al-Bugisy yang masih sangat relevan dengan kehidupan kita saat ini. Tema nasehat Anregurutta pada tulisan kali ini adalah nasehat mengenai larangan untuk menuruti dan mengikuti kehendak semua orang. Sehingga terdapat kisah seseorang yang berjalan bersama anak dan keledainya. Ketika keduanya naik mengendari keledai, maka orang lain mencibirnya seraya berkata, kedua orang tersebut sedang menganiaya binatang, tidak ada rasa kasihannya. Ketika orang ini berjalan kaki dan anaknya menunggangi keledai, maka orang-orang disekitarnya juga mencibirnya seraya berkata, sungguh durhaka anak menunggangi keledai sedang ayahnya berjalan kaki. Ketika keduanya, ayah dan anaknya sama-sama berjalan kaki sambil menarik keledainya, datang lagi cibiran dari orang-orang disekitarnya, sungguh bodoh kedua orang itu, ia tidak bisa memanfaatkan keledai yang seharusnya ia tunggangi.

Salah satu nasehat Anregurutta KH. Muhammad As'ad Al-Bugisy adalah:
إن تطع أكثر البرايا يضلوا # ك فتلقى جهنم لك دار
Bettuanna: Narekko muturisiwi maegae tau, de tanapapusamu. Nainappani mulolongeng onrongmu rilalenna ranaka jahannama.
Artinya: Jika engkau mengikuti semua keinginan manusia, sungguh engkau akan tersesat. Kemudian engkau akan mendapatkan tempatmu di dalam neraka jahannam.

Nasehat Anregurutta ini menjelaskan kepada kita untuk tidak menuruti semua keinginan manusia. Ada diantara kita, yang mungkin karena ingin menyenangkan semua orang dan membuat mereka bahagia maka ia berusaha untuk menuruti semua keinginan manusia. Sehingga dengan usaha tersebut terkadang ia berkorban bahkan menyalahi perkataan terdahulu. Dan menurut Anregurutta orang yang berusaha menuruti keinginan semua orang jsutru akan mendapatkan siksaan api neraka.

Pada kehidupan kita sekarang, terkadang seorang ulama dikejar dan diperintahkan untuk menuruti semua orang. Misalkan ulama fiqhi jika ia berusaha mengikuti keinginan semua manusia, maka bisa saja ia memutuskan hukum fiqh, pada situasi tertentu ia katakan boleh dan pada sisi lain ia katakan tidak boleh. Juga seperti ulama tafsir jika ia berusaha mengikuti keinginan semua orang, bisa saja ia menafsirkan sebuah ayat berbeda dengan maksud dari asbabun nuzul dari ayat tersebut karena ada keinginan membuat orang lain senang dengan dirinya.

Sehingga seorang ulama, ustadz tidak boleh mengikuti semua keinginan umat manusia. Seorang ulama tidak boleh berusaha mencari-cari pembenaran terhadap kebijakan-kebijakan hanyak untuk mengikuti keiginan pemerintah. Seorang ulama tidak boleh melakukan semua cara hanya untuk berusaha memuaskan keinginan orang banyak. Sehingga menurut peneliti sekarang, muballigh cenderung memenuhi keinginan orang banyak, atau sponsornya, sehingga harus menyampaikan dakwah dengan penuh retorika yang beragam, penuh canda tawa, komedi dan lawakan. Dan pada akhirnya esensi agama atau nilai-nilai Islam tidak tersampaikan dengan baik.

Sehingga ada perkataan :"Iya masero sitinajae passeroe sappa bujung, tania bujunge sappa passero". Makna kalimat ini adalah muridlah yang seharusnya mencari guru untuk belajar, bukan sebaliknya guru yang mencari murid, karena ketika itu yang terjadi, barakka'na paddissengnge akan hilang. 
Wallahu a'lam bisshawab. 

Sumber Bacaan:
Alim Allamah Anregurutta KH. Muhammad As'ad Al-Bugsisy, Washiyyah Qayyimah

Oleh :
TARMIZI TAHIR
Pembina Ma'had Aly As'adiyah &
Dosen IAI As'adiyah Sengkang

MENAKAR KUALITAS TAQWA DI MASA PANDEMI COVID-19

Secara etimologi taqwa bermakna menjaga atau memelihara. Secara terminologi, ada beragam definisi yang diungkapkan oleh para ulama tentang taqwa, namun secara sederhana dapat dpahami sebagai upaya untuk senantiasa menaat segala perbuatan yang diridhai oleh Allah dan menghindari perbuatan yang dibenci atau dilarang-Nya.

Taqwa merupakan harapan setiap pribadi muslim. Derajat muttaqin (orang bertaqwa) menjadi suatu pencapaian tertinggi seorang muslim sejati dalam kehidupannya. Dalam literatur utama Islam baik al-Qur'an maupun hadis, penghargaan terhadap orang bertaqwa sangat tinggi. Secara personal orang yang bertaqwa akan dihadiahkan, surga yang luas, diberi solusi terhadap persoalan hidup, rezki yang tak mereka sangka dan berbagai penghargaan lain. Di samping itu, penghargaa sebagai manusia termulia dipersembahkan bagi orang yang bertaqwa. Secara sosial, orang-orang yang bertaqwa akan diberikan keberkahan hidup dalam komunitasnya baik keberkahan bumi maupun keberkahan langit.

Untuk mencapai derajat tersebut. Al-Qur'an dan hadis memberikan petunjuk dengan melaksanakan ibadah personal maupun ibadah sosial. Bahkan ada beberapa ibadah yang bertujuan khusus untuk sampai pada derajat ini, salah satunya adalah ibadah puasa. Secara eksplisit, Al-Qur'an menyatakan bahwa tujuan utama puasa adalah membentuk pribadi yang bertaqwa. Orang yang berpuasa pada dasarnya sedang menempa diri untuk mencapai derajat yang sangat mulia ini yaitu derajat muttaqin. Al-Qur'an juga mengingatkan kita untuk membawa bekal yang terbaik yaitu taqwa.